GridHEALTH.id - Tanaman ganja dikenal dengan produknya sebagai rokok ganja.
Ganja sendiri diketahui barang haram untuk digunakan dan beredar di wilayah hukum Indonesia.
Tapi ganja itu sendiri mengandung lebih dari 100 bahan kimia berbeda yang disebut cannabinoids. Masing-masing memiliki efek yang berbeda pada tubuh.
Salah satu efeknya adalah untuk kesehatan, yaitu pengobatan. Karenanya lahir istilah ganja medis.
Ganja medis adalah istilah yang merujuk pada bahan kimia utama dari yang digunakan dalam pengobatan, yaitu delta-9-tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD).
Seperti Apa Ganja Medis
Mengutip Vereywell Health, ganja medis memiliki manfaat kesehatan karena mengandung 2 senyawa kimia alami utama dengan sifat obat, yaitu Tetrahydrocannabinol (THC) dan Cannabidiol (CBD).
Baik THC dan CBD memiliki struktur kimia yang mirip dengan endocannabinoid alami tubuh.
Endocannabinoids adalah neurotransmitter yang bekerja di otak.
Neurotransmitter adalah pembawa pesan kimia yang menyampaikan sinyal antara sel-sel saraf dalam tubuh.
Baca Juga: Menkes Sudah Peringatkan Puncak Omicron, Reaksi Masyarakat Biasa Saja
Namun, THC dan CBD memengaruhi reseptor yang berbeda di otak. CBD adalah senyawa psikoaktif, tetapi tidak memberi efek mabuk seperti THC.
Sehingga, CBD lebih populer sebagai bahan pengobatan.
Karena ini, beberapa waktu lalu seorang ibu dan anaknya viral karena membutukan ganja medis saat acara car free day di Jakarta.
Sang ibu mengatakan, anaknya terkena cerebral palsy sehingga membutuhkan ganja medis.
Ibu tersebut adalah Santi Warastuti, yang menyeru Mahkamah Konstitusi segera memberikan putusan dalam upaya uji materi UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, yang dilayangkan olehnya serta sejumlah orang tua pasien cerebral palsy dan lembaga swadaya masyarakat.
Singgih Tomi Gumilang, pengacara yang mendampingi Santi dalam uji materi di MK, mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa Santi mulai tertarik mencoba ganja medis sebagai obat alternatif setelah bergabung dengan komunitas Wahana Keluarga Cerebral Palsy di Yogyakarta.
Komunitas itu beranggotakan 5.000 orang tua yang anaknya mengidap cerebral palsy.
Di komunitas itulah, Santi bertemu dengan Dwi Pertiwi yang pernah memberikan CBD oil yaitu minyak yang diekstrak dari ganja kepada anaknya yang mengidap cerebral palsy sewaktu tinggal di Australia, 2016 silam.
Sekembalinya ke Indonesia, Dwi menghentikan terapi tersebut karena penggunaan ganja untuk keperluan medis ilegal menurut UU Narkotika. Putra Dwi, Musa, akhirnya meninggal dunia dengan kondisi yang dideritanya.
Baca Juga: Pengobatan Non Medis Tidak Bisa Dijadikan Pengganti Pengobatan Medis
Ganja Medis untuk Pengobatan
Mengenai ganja untuk medis, dalam hal ini pengobatan cerebralpalsy, menurut David Casarett, peneliti ganja medis di Universitas Pennsylvania, mayoritas produk ganja medis dan minyak CBD umumnya mengandung konsentrasi CBD yang tinggi dan THC yang sangat rendah sehingga tidak menyebabkan high.
Di Indonesia, ganja termasuk Narkotika Golongan I yang menurut Pasal 8 UU Narkotika dilarang digunakan untuk pelayanan kesehatan.
Pada ayat dua pasal tersebut menyebutkan Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk penelitian dalam jumlah terbatas setelah mendapat persetujuan dari Menteri dan BPOM.
Namun Kementerian Kesehatan sudah mengeluarkan izin penelitian ganja pada 2015, melalui surat yang ditandatangani Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan nomor LB.02.01/III.03/885/2015 tentang Izin Penelitian Menggunakan Cannabis.
Hanya saja penelitian tersebut belum terlaksana.
Menteri Kesehatan waktu itu, Nila Moeloek, beralasan biaya penelitian ganja besar dan banyak hal lain untuk diteliti dibanding ganja.
Perlu juga diketahui, pengetahuan mengenai efek ganja medis pada anak-anak dan remaja dengan kondisi kronis masih terbatas, meski ada bukti ilmiah kuat yang mendukung penggunaannya pada anak-anak dengan gangguan kejang yang langka.
Sebuah studi yang terbit pada 2021 menganalisis data dari 90 pengasuh anak-anak berusia di bawah 18 tahun yang menggunakan perawatan ganja medis di Swiss.
Baca Juga: Semakin Dekat, Ini Prediksi Puncak Covid-19 Omicron BA.4 dan BA.5 Menurut Menkes
Sekitar 66% partisipan studi melaporkan perbaikan kesehatan. Namun 43% pengasuh melaporkan mereka menghentikan perawatan karena kurang efektif atau muncul efek samping.
Studi tersebut menyimpulkan bahwa perlu dilakukan uji klinis acak (randomized control trial, RCT) dengan THC dan CBD yang terstandarisasi untuk menilai kemanjuran ganja medis dalam merawat berbagai penyakit serta efek jangka panjangnya pada anak-anak.
Ganja Medis untuk Cerebral Palsy
Sedangkan menurut Irawati Hawari, selaku dokter spesialis syaraf sekaligus penasehat di Yayasan Epilepsi Indonesia, juga mengatakan belum ada cukup penelitian mengenai kemanjuran ganja sebagai obat, serta keamanan jangka panjangnya.
Beberapa penelitian menemukan kaitan antara penggunaan ganja dengan gangguan psikotik atau skizofrenia. Walaupun disebutkan bahwa jumlah pengguna ganja yang mengembangkan skizofrenia sangat sedikit, dan beberapa gen diduga turut memengaruhi risikonya.
Meskipun Dr. dr. Irawati bersimpati pada para orang tua pasien cerebral palsy yang hampir putus asa mencari perawatan untuk anaknya, ia berkeras bahwa masih banyak pengobatan lain yang tersedia.
"Misalnya untuk gejala otot kaku (spastic) dan gangguan koordinasi akibat cerebralpalsy, itu ada botox (botulinum toxin) untuk mengurangi kakunya, ada obat-obat pelemas otot, dan fisioterapi," katanya kepada BBC News Indonesia.
"Banyak sekali obat-obatan yang berdasarkan evidence-based medicine, yang seluruh dunia sedang mengakuinya. Justru yang cannabinoid oil inilah yang masih banyak negara yang belum setuju penggunaannya," ia menjelaskan.
Selain itu, menurut Dr. dr. Irawati, persepsi masyarakat juga perlu diperhitungkan sebelum melegalkan ganja medis. Pasalnya, belum banyak masyarakat yang paham perbedaan ganja medis (CBD) dan ganja rekreasi.
Baca Juga: Semakin Dekat, Ini Prediksi Puncak Covid-19 Omicron BA.4 dan BA.5 Menurut Menkes
Tapi mengutip Cerebral Palsy Guidance, sebuah penelitian yang diterbitkan oleh NIH pada 2007 menyatakan bahwa pengalaman klinis dan penelitian pada hewan menunjukkan manfaat ganja medis pada gejala cerebral palsy.
Zat aktif dalam ganja membantu mengendalikan kejang parsial yang sering menjadi gejala pada orang dengan spastik quadriplegia.
Spastik quadriplegia adalah bentuk dari cerebral palsy yang paling parah, memengaruhi keempat anggota gerak, wajah, dan badan.(*)
Baca Juga: Pengobatan Ruqyah Untuk Masalah Medis dan Untuk Siapa Saja, Ini Caranya
Source | : | BBC-ganja,Kompas.com-ganja,Kompas-ganjamedis |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar