GridHEALTH.id – Pandemi Covid-19 meningkatkan semangat orang untuk berolahraga, sebagai upaya peningkatan imunitas.
Lari menjadi salah satu jenis olahraga yang paling banyak dilakukan. Studi yang diterbitkan di International Journal of Environmental Research and Public Health, bahkan menunjukkan hal tersebut.
Disebutkan bahwa olahraga lari adalah salah satu kegiatan yang paling populer di dunia dalam hal partisipasi.
Belakangan juga, event lari marathon cukup sering digelar dan diikuti oleh banyak orang dari berbagai kalangan. Ada yang memang terbiasa berlari dan hanya lari sesekali saja.
“Event marathon itu sudah berubah menjadi yang tadinya elite sport event, yang ikut hanya yg benar-benar berlari untuk latihan marathon, sekarang berubah menjadi mass recreational leisure event,” kata dr. Antonius Andi Kurniawan, Sp.KO, dokter spesialis kedokteran olahraga SMIRC Pondok Indah-Bintaro Jaya, di Jakarta, Rabu (7/9/2022).
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa saat ini kebanyakan orang-orang yang ikut lari marathon hanya mementingkan sampai ke garis finish dan bukan untuk meraih kemenangan.
Kematian mendadak saat marathon
Dokter Antonius Andi mengatkan, terdapat kejadian kematian mendadak yang terjadi saat seseorang mengikuti lari marathon.
Meski kasus kematian mendadak saat marathon sebenarnya jarang terjadi, tapi penting juga untuk diperhatikan.
Sebelum pandemi pada 2018 terdapat tiga kasus, dua kasus pada 2019, dan sudah ada tiga kasus selama tahun ini.
“Kematian mendadak pada pelari ini, merupakan kejadian luar biasa. 84% kematian mendadak saat marathon paling sering pda laki-laki, terus usianya tidak harus middle age (lanjut usia),” kata dokter Antonius Andi.
Baca Juga: Masih Olahraga Lari Pakai Jaket Sauna? Ini Risikonya Menurut Dokter
Berdasarkan Journal of Medicine, rata-rata usia peserta marathon yang mengalami kematian mendadak berkisar di antara 40 hingga 50 tahun, tapi ada juga yang kisaran usia 30 tahun dan kilometer akhir.
“Kebanyakan mereka nge-push. Dikit lagi dikit lagi, kalau liat lomba lari, menjelang finish tuh banyak komunitas yang ‘ayo, ayo’. Itu yang membuat seperti itu (memaksakan diri),” jelasnya.
Baca Juga: Indonesia International Marathon di Bali, Sport Tourism dan dan Faktanya Bagi Kesehatan
Batas waktu pertolongan singkat
Dokter Antonius Andi menjelaskan, tubuh mempunyai sensor yang akan memberitahu tentang kemampuan diri sendiri. Apabila merasa kelelahan atau nyeri, sebaiknya segera kurangi kecepatan lari.
“Ketika dikurangi kecepatan, nyerinya berkurang, keluhannya tidak ada. Berlarilah dengan kecepatan yang dikurangi. Tapi, kalau dengan kecepatan itu ternyata keluhan masih ada, berhenti untuk melakukan stretching atau peregangan dinamis sebentar,” jelasnya.
Namun, jika keluhan yang dirasakan saat lari marathon adalah sesak napas atau nyeri dada, maka harus segera berhenti dan cari pertolongan medis.
Hal tersebut sangat penting untuk mencegah terjadinya kematian mendadak saat marathon.
Jika sesuai standar internasional, layanan medis yang ada di lomba lari marathon seharusnya berada setiap titik 2,5 kilometer.
“Mereka yang tiba-tiba kolaps, ada yang survive dan ada yang tidak survive. Mereka yang survive itu, ditangani dapat resusitasi jantung paru kurang lebih 1,5 menit. Jadi cepat di bawah tiga menit, diberi resusitasi jantung paru,” pungkas dokter Antonius Andi.
Apabila tindakan medis didapatkan lebih dari lima menit, maka pertolongan tersebut sudah terlambat dan pelari berisiko mengalami kondisi yang fatal. (*)
Baca Juga: Healthy Move, Amankah Berolahraga dengan Bertelanjang Kaki? Ini Jawaban Ahli
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar