Berdasarkan Journal of Medicine, rata-rata usia peserta marathon yang mengalami kematian mendadak berkisar di antara 40 hingga 50 tahun, tapi ada juga yang kisaran usia 30 tahun dan kilometer akhir.
“Kebanyakan mereka nge-push. Dikit lagi dikit lagi, kalau liat lomba lari, menjelang finish tuh banyak komunitas yang ‘ayo, ayo’. Itu yang membuat seperti itu (memaksakan diri),” jelasnya.
Baca Juga: Indonesia International Marathon di Bali, Sport Tourism dan dan Faktanya Bagi Kesehatan
Batas waktu pertolongan singkat
Dokter Antonius Andi menjelaskan, tubuh mempunyai sensor yang akan memberitahu tentang kemampuan diri sendiri. Apabila merasa kelelahan atau nyeri, sebaiknya segera kurangi kecepatan lari.
“Ketika dikurangi kecepatan, nyerinya berkurang, keluhannya tidak ada. Berlarilah dengan kecepatan yang dikurangi. Tapi, kalau dengan kecepatan itu ternyata keluhan masih ada, berhenti untuk melakukan stretching atau peregangan dinamis sebentar,” jelasnya.
Namun, jika keluhan yang dirasakan saat lari marathon adalah sesak napas atau nyeri dada, maka harus segera berhenti dan cari pertolongan medis.
Hal tersebut sangat penting untuk mencegah terjadinya kematian mendadak saat marathon.
Jika sesuai standar internasional, layanan medis yang ada di lomba lari marathon seharusnya berada setiap titik 2,5 kilometer.
“Mereka yang tiba-tiba kolaps, ada yang survive dan ada yang tidak survive. Mereka yang survive itu, ditangani dapat resusitasi jantung paru kurang lebih 1,5 menit. Jadi cepat di bawah tiga menit, diberi resusitasi jantung paru,” pungkas dokter Antonius Andi.
Apabila tindakan medis didapatkan lebih dari lima menit, maka pertolongan tersebut sudah terlambat dan pelari berisiko mengalami kondisi yang fatal. (*)
Baca Juga: Healthy Move, Amankah Berolahraga dengan Bertelanjang Kaki? Ini Jawaban Ahli
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar