GridHEALTH.id - Air yang bersih dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Namun faktanya, menurut data yang dikeluarkan oleh UNICEF, sekitar 70% sumber air minum bagi rumah tangga di Indonesia tercemar oleh limbah feses.
Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat akhirnya memilih air minum dalam kemasan (AMDK), sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan air minum.
Namun jadi sebuah dilema bagi masyarakat, setelah muncul rencana pelabelan BPA (Bisphenol-A) oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), terutama pada kemasan galon guna ulang.
BPA merupakan bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan plastik polikarbonat untuk kemasan galon guna ulang.
Ahli polimer dari Institusi Teknologi Bandung, Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D., mengatakan hal tersebut karena plastik polikarbonat mempunyai keunggulan dibanding kemasan plastik yang lainnya.
"Polikarbonat punya keunggulan untuk dijadikan botol minuman. Mechanical properties-nya lebih bagus, kemudian thermal properties-nya lebiih bagus," ujarnya dalam acara Forum Ngobras, Jakarta, Kamis (17/11/2022).
"Kalau bahan itu dibuat dari plastik yang lain, mechanical properties dan thermal properties-nya lebih rendah. Dari dua sifat itu, yang unggul adalah polikarbonat," sambungnya.
Ia juga menerangkan, bahwa plastik polikarbonat termasuk jenis yang aman dan masuk dalam kategori food grade.
"Polikarbonat itu adalah plastik yang aman, dan terkategori sebagai food grade. BPA sendiri sudah lolos dari uji 34 macam bahan yang dikategorikan berbahaya untuk makanan," jelas Zainal Abidin.
Rencana pelabelan BPA oleh BPOM dilakukan dengan alasan untuk memberikan perlindungan kesehatan bagi masyarakat. Dikhawatirkan terjadi transmisi senyawa kimia tersebut ke dalam air yang dikemas oleh plastik polikarbonat.
Namun menurut Zainal Abidin, migrasi Bisphenol-A ke air butuh waktu yang lama dan hasil penelitian pun, menemukan kalau masih berada di titik yang aman bagi tubuh.
"Kalau isunya sekarang itu BPA bahaya untuk kesehatan. Jangan dengar hanya dengan nama lalu percaya bahwa itu bahaya. Kriteria bahaya menurut Globally Harmonized System (GHS), harus ada nama barangnya, konsentrasinya berapa, akumulasi jumlahnya berapa, dan lamanya kontak barang itu dengan tubuh manusia berapa," jelasnya.
Dijelaskan bahwa BPA merupakan zat yang bisa keluar dengan sendirinya bersama kotoran tubuh dan tidak terakumulasi.
Sejalan dengan Zainal Abidin, Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor, kajian analisis dibutuhkan untuk menentukan bahaya paparan BPA.
Justru menurutnya, BPA pada kemasan kaleng yang harus lebih diperhatikan. Karena, ada risiko korosi yang pada akhirnya bisa menyebabkan terjadinya pencemaran dan keracunan.
Profesor Ahmad menyebutkan bahwa regulasi pelabelan BPA masih terlalu dini dan tidak perlu terburu-buru untuk dilakukan.
"Rasanya masih terlalu dini, tidak perlu terburu-buru. Belum ada data untuk mendukung hal tersebut," jelasnya.
Menurutnya perbaikan standarisasi lebih penting dibandingkan dengan pemasangan label pada kemasan plastik polikarbonat.
Zainal menambahkan, dibutuhkan juga pengawasan yang dilakukan mulai dari waktu produksi hingga sampai ke tangan masyarakat.
"Pemerintah punya kewajiban tidak hanya cek pada waktu awal dan mengasih label, tapi juga ada observasi waktu barang itu ada di toko dan masyarakat," pungkasnya. (*)
Source | : | liputan lapangan |
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar