"Tidak ada manfaatnya, bahkan potensial merugikan," ujarnya dikutip dari Kompas, Senin (28/8/2023).
"Karena cairan dengan tekanan tinggi pada udar polusi, maka polutan akan alami aerolisasi yang memudahkan berdampak pada kita kalau terhirup," sambungnya.
Dokter spesialis paru RSUP Persahabatan Erlina Burhan pun, juga merasa tindakan semprot air meredakan polusi kurang efektif dilakukan.
"Kurang efektif ya, karena partikel polutan yang berada di ketinggian itu tidak semua terjangkau," jelasnya dikutip dari Tribunnews (25/8/2023).
Sebuah penelitian di China yang terbit dalam jurnal National Library of Medicine pada 2021, mengungkapkan mengapa semprot air meredakan polusi bukan cara yang tepat.
Studi tersebut dilakukan dengan cara menyemprotkan air terhadap konsentrasi PM 2.5 dengan mengukur komposisi kimia air.
Selanjutnya, dilakukan simulasi eksperimen penyemprotan air, mengukur residu, dan menganalisis data yang relevan.
Hasil yang ditemukan, penyemprotan baik air keran atau sungai ke jalanan dalam jumlah yang besar malah meningkatkan konsentrasi PM 2.5 dan kelembapan.
"Penyemprotan terus menerus setiap hari menghasilkan efek kumulatif terhadap polusi udara," jelas penulis.
Para pakar mengharapkan dilakukan cara lain untuk mengatasi permasalahan ini, misalnya modifikasi cuaca yang walaupun dampaknya sementara, tapi cukup membantu.
Selain itu, penanganan polusi udara juga harus difokuskan pada sumber pencemaran agar mengurangi pelepasan emisi bahan toksik ke udara. (*)
Baca Juga: Efek Polusi Udara Juga Bisa Pengaruhi Mental Anak, IDAI Bagikan 6 Cara Melindungi Si Kecil
Source | : | Kompas.com,Tribunnews.com |
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Poetri Hanzani |
Komentar