GridHEALTH.id - Perubahan iklim bukanlah sebuah permasalahan yang bisa diabaikan begitu saja.
Yang dimaksud perubahan iklim yakni perubahan pada suhu dan pola cuaca dalam jangka panjang.
Mengutip situs resmi UN Nations, sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia menjadi pendorong utama peurbahan iklim.
Terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak, dan gas.
Terjadinya perubahan iklim berdampak besar terhadap kehidupan manusia, dari berbagai aspek termasuk kesehatan.
Blue carbon atau karbon biru, menjadi salah satu upaya untuk mengendalikan perubahan iklim dan mencegah efeknya.
Karbon biru merupakan sebuah istilah yang merujuk pada kapasitas ekosistem laut, seperti hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang untuk menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer.
Selanjutnya, karbon dioksida tersebut akan disimpan dalam biomasa organik, serta dalam sedimen di dasar laut.
Melansir laman Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada Januari 2023 lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan saat ini karbon biru di Indonesia cenderung berfokus pada satu jenis ekosistem, yakni hutam mangrove.
Sementara itu, ada ekosistem karbon biru lain yang perlu dipertimbangkan, seperti ekosistem lamun.
Blue carbon dapat membantu mengurangi konsentrasi CO2 di udara yang bisa menyebabkan pemanasan global hingga menjadi habitat penting spesies laut.
Baca Juga: Konferensi COP28, Pentingnya Keseriusan Menghubungkan Perubahan Iklim dan Kesehatan
Setelah mengetahui peran blue carbon dalam menanggulangi perubahan iklim, selanjutnya cari tahu apa dampaknya bagi kesehatan bila hal tersebut tidak dikendalikan.
Melansir situs Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pemanasan global yang terjadi secara cepat dapat meningkatkan kejadian penyakit.
Mulai dari yang ditularkan melalui vektor (vector-borne disease), melalui air (water-borne disease), maupun melalui makanan (foodborne disease).
Vektor merupakan hewan yang menularkan agen penyakit, salah satu contohnya adalah nyamuk. Perubahan iklim dapat mempengaruhi siklus hidup nyamuk dan intensitas hisapannya.
Jenis nyamuk yang dapat terpengaruh yakni Anopheles gambiae, A. funestus, A. darlingi, Culex quinquefasciatus, dan Aedes aegypti.
Nyamuk Culex quinquefasciatus dapat menyebabkan penyakit kaki gajah, sedangkan Aedes aegypti menjadi agen penyebab demam berdarah dengue (DBD).
Perubahan iklim yang terjadi secara global dapat meningkatkan infeksi penyakit yang ditularkan oleh nyamuk karena menyebabkan peningkatan jumlah nyamuk.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mendukung blue carbon, sehingga bisa memberikan pengaruh positif terhadap perubahan iklim beragam.
Misalnya konservasi ekosistem laut, agar kapasitasnya terjaga dalam menyimpan karbon.
Dari sektor pertanian, perikanan, dan pembangunan yang berkelanjutan juga dapat membantu mengurangi tekanan terhadap ekosistem karbon biru.
Perubahan iklim tak dapat diabaikan, dampaknya besar bagi kehidupan manusia, termasuk terhadap kesehatan. (*)
Baca Juga: Perubahan Iklim di Indonesia 2023 Diprediksi Ekstrim, Ada Risiko Kesehatan Manusia yang Terancam
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
Komentar