Find Us On Social Media :

WHO : Tak Etis Bila Herd Immunity Dipakai Menghadapi Virus Corona

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) keinginan mencapai kekebalan kelompok (herd immunity) dalam menghadapi pandemi virus corona tidak etis dan di luar perikemanusiaan.

GridHEALTH.id -Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menyatakan strategi membiarkan virus corona berkeliaran untuk mencapai kekebalan kelompok (herd immunity) tidak etis dan di luar perikemanusiaan.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengungkapkan herd immunity

herd immunity merupakan konsep yang digunakan dalam vaksinasi di mana populasi dapat terlindungi dari virus tertentu bila ambang batas vaksinasi tercapai.

"Membiarkan virus berbahaya yang tidak kita pahami sepenuhnya berkeliaran itu tidak etis. Itu bukan sebuah pilihan," ujar Tedros dalam konferensi pers virtual, dikutip dari AFP, Senin (12/10).

Tedros mengambil contoh, untuk penyakit campak, diperkirakan apabila 95% populasi telah divaksinasi, 5%  sisanya akan terlindungi dari penyebaran virus. Untuk polio, menurut dia, ambang batasnya 80%.

"Herd immunity dicapai dengan melindungi orang-orang dari virus, bukan dengan mengekspos masyarakat terhadap virus," ujarnya.

Menurut Tedros, herd immunity tidak pernah digunakan untuk merespons pandemi dalam sejarah kesehatan publik.

Baca Juga: Indonesia Hindari Lockdown, Apakah Herd Immunity Akan Jadi Skenario?

Baca Juga: UU Ciptaker Tak Hilangkan Cuti Hamil hingga Haid, Ini Penjelasannya

Untuk diketahui, virus corona baru telah membunuh lebih dari sejuta orang dan menginfeksi lebih dari 37,5 juta orang sejak pertama kali muncul pada akhir tahun lalu.

Bergantung pada pencapaian herd immunity secara alami untuk mengatasi hal tersebut dinilai sangat bermasalah, baik dari sisi keilmuan maupun etika.

 

Tedros menyorot kurangnya informasi terkait perkembangan imunitas terhadap covid-19, termasuk seberapa kuat respons imun dan seberapa lama antibodi tetap berada di tubuh.

Ia juga menyorot kurang dari 10% populasi di sebagian besar negara terpapar virus tersebut. "Sebagian besar dari populasi di kebanyakan negara masih rentan terhadap virus," ujarnya.

Strategi herd immunity dinilai bakal menimbulkan banyak korban meninggal sebelum kekebalan kelompok bisa tercapai.

"Ini adalah penyakit serius, ini adalah musuh publik nomor satu. Kami telah mengatakan ini berulang kali. Tidak ada yang aman sampai semua orang aman," tegas Dr. Ryan.

Lihat apa yang terjadi di Indonesia, di tengah pandemi virus corona yang membuat masyarakat mempertanyakan kemampuan vaksin Covid-19, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy malah kembali menyentil masalah herd immunity.

Baca Juga: Wanita Penyandang Hipertensi dan Diabetes Tidak Disarankan Pakai Kontrasepsi Hormonal

Baca Juga: Manfaat Buah Nectarine, Tingkatkan Kesehatan Mata Hingga Cegah Kanker

Muhadjir beranggapan bahwa setelah pemberian vaksin Covid-19 pada 70% penduduk Indonesia dapat membuat kekebalan komunitas (herd immunity) makin kuat.

"Kalau dalam vaksin Covid-19 tidak usah 100 persen yang jadi target sehingga tak harus 270 juta (penduduk) itu divaksin semua. Karena yang penting kita ingin membangun herd immunity.

Sekawanan imunitas yang nanti kalau mayoritas sudah tervaksinasi mereka yang belum tervaksin otomatis terlindungi," ujar Muhadjir dalam sebuah gelar wicara, Kamis (17/09/2020).

Terlepas dari jumlah orang yang akan disuntik vaksin, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam berita terkininya mengutuk konsep herd immunity atau kekebalan komunitas yang mulai digaungkan berbagai negara dalam mengelola pandemi Covid-19.

Baca Juga: Epidemiolog: Gas Air Mata Bisa Memperburuk Penularan Covid-19

Baca Juga: Waspadai, Ini Dia 3 Dampak Tekanan Darah Tinggi Pada Ginjal

"Kami telah mendengarkan dengan prihatin terhadap suara-suara yang keliru menyarankan bahwa herd immunity dapat segera memperlambat penyebaran Covid-19.

Padahal Covid-19 100 kali lebih mematikan daripada cacar air.," tulis David Dowdy dan Gypsyamber D'Souza, dari Departemen Epidemiologi di Sekolah Kesehatan Publik Johns Hopkins Bloomberg, dikutip dari Reuters (07/05/2020). (*)

#berantasstunting #hadapicorona