Find Us On Social Media :

Orang Terdidik, Mengapa Masih Abai Terhadap Covid-19? Ternyata Karena Ini

Banyak orang terdidik yang masih mengabaikan Covid-19 karena membaca berita tidak benar alias hoaks.

GridHEALTH.id - Dari Facebook sampai pesan WhatsApp, kerap kita temukan informasi keliru mencakup soal penyebab wabah hingga cara pencegahan dari penyakit tersebut. Berita-berita palsu ini bisa membawa kerugiannya sendiri.

Misalnya ada laporan yang beredar di WhatsApp, ada seorang berada, pebisnis property, seorang developer, yang punya beberapa cluster di wilayah Tangerang Selatan.

Istrinya baru saja wafat yang ternyata terkena Covid-19. Almarhumah sebelumnya sudah sakit selama seminggu di rumah.

Selama istrinya sakit, suaminya tetap pergi ke luar rumah. Bahkan masih bergaul dengan tetangganya.

Alhasilnya, satu minggu pasca meninggal istrinya, para tetangga mulai bertumbangan serempak karena sakit.

Semua mengalami gejala Covid-19 seperti meriang, kehilangan indra perasa, mual, dan muntah  setiap kali masuk makanan.

Baca Juga: China Tolak Permintaan WHO Untuk Penyelidikan Kedua Tentang Asal-usul Covid-19

Baca Juga: Sudah Masuk Indonesia, Jamur Hitam India Bikin Bola Mata Pasien Covid-19 Harus Diangkat

Sampai sekarang, keluarga almarhum tidak lapor ke satgas setempat, juga RT dan RW-nya.

Ketika tetangganya meminta untuk di rumah saja, biar warga kompleks yang mensuplai makanan dan kebutuhan lainnya, yang bersangkutan malah naik darah dan menganggap Covid-19 hanya isu dan konspirasi belaka.

Lalu mengapa hal ini terjadi, dan mengapa masih banyak orang terdidik yang abai terhadap Covid-19, bahkan menganggap keberadaannya hanyalah hoaks semata?

David Robson dari BBC Future mengutip sebuah survey dari YouGov dan The Economist bulan Maret 2020 memperlihatkan bahwa 13% orang Amerika percaya bahwa Covid-19 adalah hoaks, sedangkan 49% percaya bahwa pandemi ini sesungguhnya buatan manusia.

Satu hal lagi, banyak orang berpendidikan termasuk yang percaya hal-hal seperti itu.  Lihat misalnya penulis Kelly Brogan, seorang yang percaya teori konspirasi seputar Covid-19.

Kelly lulusan Massachusetts Institute of Technology dan belajar psikiatri di Cornell University.

Baca Juga: WHO Mendesak Lebih Banyak Penelitian Tentang 'Long Covid-19'

Baca Juga: Alergi Antibiotik Bisa Bahayakan Nyawa, Ini Jenis Alergi Lainnya

Namun ia mengabaikan bukti akan bahaya virus tersebut yang sudah terjadi di China dan Italia.

Ia bahkan mempertanyakan teori ilmiah sembari mempromosikan ide-ide sains palsu untuk menjelaskan virus ini.

Bahkan beberapa pemimpin dunia, yang diharapkan punya penilaian lebih baik soal desas-desus, telah ikut menyebarkan informasi keliru soal risiko penyakit ini dan mempromosikan obat-obatan yang belum terbukti, yang dampaknya malah memperburuk keadaan.

Para psikolog sudah mempelajari fenomena ini dan menyarankan beberapa hal untuk melindungi diri dari kebohongan dan kekeliruan informasi seperti ini.

Gordon Pennycook, seorang peneliti psikologi misinformasi dari University of Regina, Kanada, melakukan penelitian. Ia menemukan peserta penelitiannya bisa mengenali berita palsu sebanyak 25%.

Ketika ditanya apakah mereka akan menyebarkan informasi tersebut, 35% peserta menjawab akan menyebarkannya.

Riset psikologi klasik memperlihatkan bahwa beberapa orang sangat baik dalam mengabaikan respons mendalam mereka. Orang seperti ini biasanya lebih mudah termakan berita palsu.

Baca Juga: 11 Miliar, Jumlah Vaksin Covid-19 Dibutuhkan Untuk Akhiri Pandemi

Baca Juga: Diabetes Insipidus, Kondisi Membuat Kita Terus Mengalami Dehidrasi

Orang yang tak menggunakan akal ini kerap disebut oleh psikolog sebagai “kikir kognitif” karena mereka memiliki akal tetapi tidak banyak menggunakannya.

Kekikiran kognitif ini membuat kita lebih mudah mengalami bias kognitif, dan ini mengubah cara kita mengkonsumsi informasi (dan misinformasi).

Dalam soal pernyataan seputar virus corona, Pennycook menemukan bahwa orang yang skornya rendah dalam CRT tidak terlalu mempertimbangkan akurasi sebuah pernyataan, yang bisa jadi dengan sukarela mereka sebarkan.

Orang mudah menyebarkan disinformasi karena tergoda oleh 'suka' dan 'retweet' di media sosial ketimbang memikirkan apakah mereka menyebar informasi yang akurat.

Memahami bahwa orang,  bahkan yang pintar dan terdidik, kerap “kikir” dalam menggunakan akal, bisa membantu kita untuk menghentikan misinformasi.

Mereka butuh bantuan pihak penyanggah dengan menghindari penyajian berita yang rumit.

Fakta harus disajikan sesederhana mungkin dengan bantuan gambar dan grafis yang membuat ide lebih mudah divisualisasi.

Menurut Matthew Stanley dari Duke University, “kita butuh komunikasi dan strategi yang efektif untuk mengarah kepada orang-orang yang tak ingin merenung dan berpikir panjang”.

Baca Juga: 5 Tanda Ketidaksuburan Ini Ternyata Sering Diabaikan Para Wanita

Baca Juga: Fenomena Kalau Lapar Jadi Marah, Ternyata Ini Biang Keladinya

Edukasi kepada mereka yang tak percaya Covid-19, apa boleh buat harus terus menerus dilakukan, bersamaan dengan program menurunkan penyebaran Covid-19, misalnya dengan lebih gencar melakukan penyuntikan Covid-19 secara massal. (*)