Find Us On Social Media :

Tragedi Minamata, Sejarah Kelam Manusia Terkena Pencemaran Merkuri, Dampak Penyakitnya Tidak Dapat Disembuhkan

Teluk Minamata, pernah menyimpan sejarah kelam tragedi keracunan merkuri.

GridHEALTH.id - Jepang sekitar tahun 1956. Ratusan ribu warga kota Minamata secara misterius mengalami kelumpuhan, gangguan saraf, kanker, bahkan sampai berujung kematian.

Tidak ada yang menyangka kalau penyakit yang sekarang dinamakan penyakit Minamata ini disebabkan oleh satu zat beracun bernama merkuri.Keanehan mulai terlihat di pertengahan 1950 ketika banyak kucing yang kejang-kejang dan jatuh ke laut.

Tidak lama, penyakit aneh mulai bermunculan di seluruh penjuru kota. Banyak warga mengeluhkan mati rasa sekujur tubuh, kesulitan dalam mendengar dan melihat, serta tremor pada tangan dan kaki.

Beberapa orang bahkan terlihat seperti kurang waras, berteriak tanpa henti dan kehilangan kendali atas tingkah lakunya.Kemudian, di 1 Maret 1956, seorang dokter di Jepang mempublikasikan laporan kasus epidemi yang menyerang sistem saraf pusat.

Ini adalah temuan resmi pertama yang menandakan kemunculan penyakit minamata yang disebabkan oleh keracunan merkuri.Lebih dari 2000 orang meninggal dan 17.000 warga harus menghabiskan hidupnya  dengan kondisi lumpuh, kerusakan saraf, kehilangan penglihatan dan kemampuan berbicara.

Baca Juga: Keracunan Merkuri Tidak Mudah Dideteksi, Bisa Sebabkan Gangguan Penglihatan Hingga Kematian

Baca Juga: Begini Tanda-tanda Wajah Terkena Merkuri, Kosmetik dengan Pemutih Bisa Jadi Biang Keroknya

Merkuri yang ditransfer dari ibu ke janin juga banyak menyebabkan keguguran. Bayi yang terlahir pun harus menderita kekurangan fisik dan keterbelakangan mental seumur hidup. Ini semua berawal dari pengelolaan limbah merkuri yang buruk oleh Chisso Co. Ltd, pabrik pupuk kimia, asam asetat, vinil klorida, dan plasticizer (zat pelentur plastik).

Betapa tidak, sekitar 200 sampai 600 ton limbah merkuri dibuang begitu saja ke teluk Minamata sejak tahun 1932.

Merkuri ini kemudian bereaksi dengan bakteri di dalam ikan-ikan yang terpapar dan bertransformasi menjadi bentuk merkuri yang paling berbahaya, yaitu methylmercury atau merkuri organik.

Penduduk Minamata yang mayoritas nelayan, mengonsumsi ikan dari teluk Minamata hampir setiap hari. Tanpa disadari, ikan yang tadinya menyehatkan berubah jadi racun mematikan.Warga yang tak terima menuntut Chisso Co. Alhasil, pihak perusahaan harus mengeluarkan dana sebesar 2 milyar Yen per tahun untuk biaya terapi dan ongkos berobat.

Angka itu tidak ada artinya ketimbang penderitaan yang harus dialami warga yang terdampak. Atas desakan pemerintah, Chisso Co. akhirnya menghentikan produksi asam asetatnya di tahun 1968.

Karena tragedi itu sangat menyedihkan dan memberi banyak pelajaran bagi kehidupan manusia, minamata kemudian dinamakan menjadi penyakit yang berkaitan dengan keracunan merkuri.Penyakit minamata tidak eksklusif untuk negara Jepang saja. Buktinya, hal yang serupa terjadi lagi di Irak pada tahun 1970.

Baca Juga: Buah Merah, Mirip Nangka Tumbuh di Papua Bermanfaat Kaya Antioksidan

Baca Juga: Ameena Nur Atta Usia 3 Bulan Sudah Berenang dengan Pelampung Leher, Mengapa FDA Sebut Benda Ini Justru Berisiko Untuk Bayi dan Anak?

Kali ini keracunan merkuri berasal dari gandum yang diberi obat anti jamur berbahan dasar merkuri. Sebanyak 35 orang meninggal dan 321 lainnya menderita cacat seumur hidup. Negara lain yang tercatat pernah mengalami kasus penyakit minamata diantaranya adalah Pakistan dan Guatemala.Di Indonesia, beberapa ancaman pencemaran merkuri datang dari emisi PLTU batubara, sampah elektronik, dan  maraknya penambangan emas ilegal yang masih menggunakan merkuri sebagai bahan bakunya.

Endcoal.org mencatat bahwa sejak tahun 2006 sampai 2020, telah ada 171 PLTU batubara yang beroperasi di Indonesia.

Angka ini akan terus meningkat seiring berjalannya ekspansi unit PLTU baru di berbagai wilayah di Indonesia, mengingat batubara masih dinilai sebagai sumber energi yang paling terjangkau.

Dari hasil pemodelan oleh Lauri Myllivirta, ahli polusi udara dari Greenpeace tahun 2018, terungkap bahwa PLTU Celukan Bawang II di Bali bisa menghasilkan 15 kilogram merkuri per tahun yang akan mengendap di lahan hutan dan pertanian sekitar. Ini adalah pertanda buruk bagi penduduk yang bergantung pada hasil bumi dan sumber air di sekitarnya.Dampak dari pencemaran merkuri juga mulai terlihat di beberapa lokasi sekitar Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK). Sejak tahun 2017, KLHK mencatat sebanyak 850 titik penambangan emas skala kecil yang tersebar di 197 Kabupaten/Kota di Indonesia.

Lebih lanjut, hasil pemeriksaan darah yang dilakukan oleh Tim Kesehatan Kodam Pattimura pada penduduk Desa Debowae, Maluku mencatat kandungan merkuri pada air seni berkisar antara 10,5 sampai 127 mikrogram/liter.

Nilai ini sangat mengkhawatirkan bila dibandingkan dengan batas normalnya, yang hanya sebesar 9 mikrogram/liter. Kelalaian manusia dalam menangani limbah merkuri telah menghancurkan kehidupan ribuan orang, termasuk bayi-bayi yang tak berdosa ini. Kondisi ini sudah terjadi di kawasan tambang emas Cisitu, Banten.

Baca Juga: Kondom Jadi Alat Kontrasepsi Paling Disuka Pria dan Wanita di Indonesia, Begini Cara Memakainya Agar Tidak Bocor

Baca Juga: Healthy Move, Siapa Sangka Permainan Lompat Kodok Untuk Anak Bisa Menurunkan Berat Badan!

 Sayangnya, penyakit minamata tidak bisa langsung terdeteksi setelah tubuh terpapar merkuri. Butuh 6 sampai 10 tahun untuk penyakit ini mulai menampakkan keganasannya.

Bila hal ini telah terjadi, tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyembuhkannya. Ada beberapa gejala umum yang harus diwaspadai, di antaranya kejang otot, mati rasa pada tangan dan kaki, otot melemah, penglihatan menyempit dan gangguan bicara dan pendengaranWalau tidak bisa diobati, penyakit minamata bisa dicegah. World Health Organization (WHO) menganjurkan pembatasan konsumsi ikan besar dengan kadar merkuri tinggi seperti hiu, kerapu, makarel, dan tuna.

Sebagai gantinya, pilihlah jenis ikan atau makanan laut yang rendah merkuri seperti mujair, lele, salmon, teri, dan udang.

Dianjurkan pula untuk lebih berhati-hati saat mengonsumsi ikan laut yang berukuran lebih besar dari telapak tangan, karena semakin besar ukurannya, semakin besar pula kadar merkurinya.

Baca Juga: 4 Manfaat Buah Mengkudu, Membantu Mengatasi Kadar Gula Darah Tinggi

Baca Juga: Membuat Sop Daging Sapi dari Kaldu Tulang, Sehat dan Bebas Lemak

Presiden Joko Widodo juga telah meratifikasi Konvensi Minamata, yaitu perjanjian internasional yang mengatur dan mengurangi penggunaan merkuri yang berlaku  sejak tahun 2017 dan telah disepakati oleh 114 negara. (*)

Diambil dari artikel Sejarah Penyakit Minamata dan Pelajaran untuk Masa Depan (https://goldismia.org)