GridHEALTH.id – Saat bulan puasa masyarakat Indonesia mempunya makanan favorit yang sama.
Makanan favorit untuk berbuka ini paling cepat ludes, dan paling banyak dijajakan oleh penjual takjil yang kerap bikin macet jalan raya.
Makanan favorit buka puasa tersebut ternyata bukan makanan mahal dan istimewa. Tapi semua orang selalu memburunya.
Baca Juga : Walau Bersantan, Menu Buka Puasa Kolak Pisang Ternyata Lebih Menyehatkan Dibanding Es Buah!
Makanan tersebut adalah gorengan.
Ya, gorengan. Makanan tersebut paling cepat ludes dipenjual takjil juga paling cepat ludes dimakan setelah bedug maghrib, yang menandakan waktunya berbuka puasa.
Menurut masyarakat Indonesia, gorengan adalah makanan terenak saat buka puasa, mengalahkan makanan lain, yang bisa saja lebih enak dan lebih mahal harganya.
Baca Juga : Dijamin Sehat, Ini Menu Buka dan Sahur yang Rekomendasikan Oleh Ahli Nutrisi Selama Puasa
Menurut CNN Indonesia, gorengan adalah makanan enak yang kaya lemak dan minyak yang berlebih.
Karenanya minyak dari gorengan dapat mengendap dalam saluran pencernaan dan menyebabkan kegemukan dan kolesterol.
Bahkan, kandungan minyak juga dapat membuat tenggorokan gatal dan menimbulkan batuk, radang, hingga infeksi.
Tak sampai di situ, menurut laman hsph.harvard.edu, mereka yang banyak makan gorengan mungkin memiliki risiko lebih tinggi terkena diabetes tipe 2 dan penyakit jantung.
Baca Juga : Bau Mulut Puasa Bukan Bau Mulut Kronis, Inilah Perbedaannya
Sebuah penelitian yang dipimpin oleh Leah Cahill, peneliti di Departemen Nutrisi di Harvard School of Public Health (HSPH), dan An Pan dari National University of Singapore, Saw Swee Hock School of Public Health, yang memeriksa data dari lebih dari 100.000 pria dan wanita usia 25 tahun yang suka memakan gorengan setidaknya sekali seminggu.
Hasilnya menunjukan 100 ribu orang tersebut memiliki risiko lebih besar terkena diabetes tipe 2 dan penyakit jantung.
Baca Juga : Menjadi Perhatian Kemenkes, Ini Sebutan Stres yang Dialami Caleg Gagal pada Pemilihan Umum
Hasil penelitian tersebut pun menemukan bukti bahwa, peserta penelitian yang makan gorengan 4-6 kali per minggu memiliki risiko 39% peningkatan diabetes tipe 2, dan mereka yang makan gorengan 7 kali atau lebih per minggu memiliki risiko 55% lebih tinggi, dibandingkan dengan mereka yang makan gorengan kurang dari sekali per minggu.
Baca Juga : Difasilitasi, Sekarang BPJS Akan Tanggung Biaya Pengobatan Caleg Stres Karena Gagal di Pemilu 2019 Ini!
Kebayang dong apa jadinya jika kita mengonsumsi gorengan tiap buka puasa dan sahur?
Mengenai penelitiannya itu, Cahill pun mempunyai keterangan lain yang menakjubkan.
Menurutnya makanan gorengan yang dibeli dari penjual gorengan, sangat jauh berisiko merugikan kesehatan berkali-kali lipat dari hasil penelitian di atas.
Alasannya karena penjual gorengan menggunakan minyak gorong tidak segar alias bekas.
Baca Juga : Sandiaga Uno Dikabarkan Alami Gangguan Lambung, Selama Sakit Tidak Tidak Boleh Konsumsi Makanan Ini
Asal tahu saja, penggunaan minyak gorong bekas atau telah dipanaskan berkali-kali, minyak menjadi lebih terdegradasi, dan lebih banyak diserap ke dalam makanan.
Karenanya gorengan dapat berkontribusi pada kenaikan berat badan, kolesterol tinggi, dan tekanan darah yang lebih tinggi.
Ini semua berkontribusi pada risiko diabetes tipe 2 dan penyakit jantung.
Baca Juga : Duka Pemilu 2019, 9 Polisi & 12 Petugas KPPS Meninggal Kelalahan; Bagaimana Kelelahan Berisiko Kematian?
Dalam keterangannya Cahill tidak memberikan saran minyak goreng apa dan seperti apa yang baiknya digunakan untuk membuat gorengan.
Baca Juga : Misteri Kematian RA Kartini, dari Diracuni Oleh Belanda Hingga Diduga Alami Preeklamsia Usai Melahirkan
"Karena sampai saat ini tidak ada penelitian yang cukup untuk memastikan dengan jelas bahwa satu jenis minyak yang terbaik untuk menggoreng, mungkin paling bijaksana untuk mengganti berbagai jenis minyak untuk memberi Anda campuran asam lemak— seperti Anda memakan beragam sayuran atau buah-buahan daripada hanya memilih satu.”(*)
Source | : | hsph.harvard.edu |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar