GridHEALTH.id - Hingga saat ini penyakit Tuberkulosis (TB – seringkali disebut dengan TBC) masih menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia.
Sedihnya Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia dalam jumlah kasus TB.
World Health Organization (WHO) Global TB Report 2018 memperkirakan kasus TB di Indonesia sebesar 842.000 kasus, dimana kasus MDR-TB diperkirakan sebanyak 23.000 kasus.
Ini tentunya menjadi masalah dan PR kita bersama, dan tentunya pemerintah.
Asal tahu saja, TB adalah salah satu dari 10 penyebab utama kematian di seluruh dunia.
* 2017, 10 juta orang jatuh sakit dengan TB, dan 1,6 juta meninggal karena penyakit ini (termasuk 0,3 juta di antara orang dengan HIV).
* TB adalah pembunuh utama orang HIV-positif.
* 2017, diperkirakan 1 juta anak jatuh sakit dengan TB dan 230.000 anak meninggal karena TB (termasuk anak dengan TB terkait HIV).
* TB yang resistan terhadap multi-obat (TB-MDR) tetap menjadi krisis kesehatan masyarakat dan ancaman keamanan kesehatan.
* WHO memperkirakan ada 558.000 kasus baru dengan resistansi terhadap rifampisin - obat lini pertama yang paling efektif, di mana - 82% memiliki TB-MDR.
Secara global, kejadian TB menurun sekitar 2% per tahun. Hal ini perlu dipercepat hingga penurunan tahunan 4-5% untuk mencapai tonggak pencapaian 2020 dari Strategi TB Akhir.
* Diperkirakan 54 juta jiwa diselamatkan melalui diagnosis dan pengobatan TB antara tahun 2000 dan 2017.
Nah, satu hal yang kerap terlewatkan oleh banyak orang mengenai TB alias TBC ini, melansir WHO.int, ketika seseorang mengembangkan penyakit TB aktif, gejalanya; batuk, demam, keringat malam, atau penurunan berat badan.
Mungkin saja gejala yang muncul ringan, karenanya acap kali terabaikan.
Tapi jika ini dibiarkan berbulan-bulan, dapat menyebabkan keterlambatan dalam mencari perawatan, dan mengakibatkan penularan bakteri ke orang lain. Nah, ini yang bahaya! Bisa menulari oranglain di sekitarnya.
Ingat, orang dengan TB aktif dapat menginfeksi 10-15 orang lain melalui kontak dekat selama setahun. Tanpa pengobatan yang tepat, rata-rata 45% orang HIV-negatif dengan TB dan hampir semua orang HIV-positif dengan TB akan meninggal.
Karena hal inilah PT Johnson & Johnson Indonesia bersama dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan National TB Program hari ini (30/9) mengadakan Training of Trainer (ToT) yang dihadiri lebih dari 30 orang konselor yang berasal dari 34 provinsi di Indonesia.
Training of Trainer (ToT) ini bisa dihadiri oleh lebih dari 30 orang konselor yang berasal dari berbagai rumah sakit dari 34 provinsi di Indonesia.
Adapun tujuan dari ToT ini adalah untuk mengedukasi dan memberikan pemahaman yang mendalam kepada para konselor mengenai pengobatan Multi-Drug Resistant TB (MDR-TB) dan tantangan didalamnya sehingga diharapkan dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan kepatuhan pasien MDR-TB dalam pengobatan, sekaligus mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan dengan memberikan edukasi kepada para konselor.
Devy Yheanne, Country Leader of Communications & Public Affairs, PT Johnson & Johnson Indonesia mengatakan, ”Dalam mengakhiri epidemi TB pada tahun 2030 kami sadar bahwa sangat dibutuhkan kolaborasi dari berbagai sektor, termasuk pemerintah, swasta, dan NGO.”
Karena masih sangat tingginya kasus TB dan MDR-TB di Indonesia, lanjut Devy, kita semua semakin sadar bahwa sangat penting untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mengenai TB dan MDR-TB melalui beberapa inisiatif.
MDR-TB merupakan TB yang resisten terhadap minimal 2 (dua) obat anti TB lini pertama, yaitu isoniazid dan Rifampisin atau obat anti TB lini pertama lainnya seperti etambutol, streptomisin, dan pirazinamid.
Di Indonesia pada umumnya peningkatan jumlah penderita TB terjadi akibat pemberian obat yang tidak tepat, ketidakpatuhan pasien TB dalam pengobatan yang dapat memperburuk kondisi pasien tersebut hingga berkembang menjadi MDR, dimana mereka akan membutuhkan pengobatan dengan dosis yang lebih tinggi.
Pasien MDR berpotensi menularkan kuman penyakit TB di level MDR.
Sayangnya, di Indonesia masih banyak kelompok masyarakat yang belum memahami mengenai MDR-TB, terutama di berbagai daerah terpencil.
Selain itu, pada umumnya beberapa pasien menolak untuk melakukan pengobatan karena kurangnya pemahaman akan pengobatan MDR- TB, baik tahapan, periode, maupun efek samping perawatan tersebut.
Baca Juga: Kemarau Panjang Masih Berlangsung, Kasus Diare Meningkat, Terapi Diare Diperlukan
Karenanya di Indonesia masih banyak temuan kasus MDR-TB yang tidak menjalani perawatan.
Dengan adanya Training of Trainer ini, menurut Devy, pihaknya berharap pelatihan mengenai MDR-TB ini tidak hanya berhenti sampai di sini, melainkan dapat diteruskan secara merata, sehingga dapat membentuk konselor TB lainnya di tempat mereka berasal yang dapat membantu masyarakat umum untuk memahami mengenai perawatan MDR-TB dan dapat mendorong mereka untuk memulai pengobatan.(*)
Source | : | who.int,GridHealth.ID |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar