GridHEALTH.id - Pejabat di seluruh Amerika Serikat melaporkan lebih dari 1.470 kematian pada hari Rabu (13/08/2020), total satu hari tertinggi pada bulan Agustus, menurut database New York Times, dan cerminan dari jumlah korban yang terus meningkat dari lonjakan kasus awal musim panas di negara bagian yang disebut Sun-Belt State.
Yaitu Alabama, Arizona, Florida, Georgia, Louisiana, Mississippi, New Mexico, South Carolina, Texas, sebagian besar California, sebagian North Carolina, Nevada, dan Utah
Dengan pengecualian tiga hari di musim panas ini, total kematian pada hari Rabu adalah yang tertinggi di negara itu sejak akhir Mei.
Angka tersebut lebih tinggi pada masing-masing dari tiga hari tersebut karena satu negara bagian - New Jersey pada hari pertama, diikuti oleh New York dan Texas - melaporkan sejumlah besar kematian yang tertunda dari hari-hari yang tidak ditentukan.
Selama dua minggu terakhir, negara itu rata-rata mengalami lebih dari 1.000 kematian per hari, lebih dari dua kali lipat pada awal Juli. Korban tewas hari Selasa 1.450 juga merupakan yang tertinggi sejak akhir Mei, tidak termasuk tiga hari musim panas yang ganjil.
Awalnya Presiden Amerika Serikat ingin mengobati warganya dengan hidroksiklorokuin sebagai penawar potensial penyakit akibat virus corona.
Baca Juga: Ternyata Ini Penyebabnya Mengapa Pasien Covid-19 Sulit Mencium Aroma
Baca Juga: Menghindari Efek Samping Obat, Panduan Ini yang Harus Dilakukan
Pada Maret, ia mengatakan bahwa obat tersebut bisa menjadi "salah satu perubahan besar dalam sejarah medis" ketika penggunaannya digabungkan dengan antibiotik azithromycin.
Tetapi pada awal Juni, Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO) telah menghentikan penelitian hidroksiklorokuin sebagai obat corona, dan menghentikan pemberiannya pada pasien Covid-19di seluruh rumah sakit, di seluruh dunia.
Reuters bahkan melaporkan Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat (NIH) telah resmi menghentikannya, Sabtu, 20 Januari 2020.
Tak putus asa mencari upaya pengobatan, sekelompok dokter di New York, Amerika Serikat, menemukan bahwa menginduksi lewat terapi hipotermia dapat menolong pasien Covid-19 yang dirawat ICU dengan bantuan ventilator.
Hal ini ditemukan ketika para dokter di Northwell Health's North Shore University di Manhasset, New York, mulai putus asa dan bertanya-tanya apakah ada hal yang dapat mereka lakukan untuk mencegah Covid-19 merusak tubuh pasien.
Ketika pasien yang sakit kronis membutuhkan bantuan ventilator, peningkatan metabolisme mereka justru menurunkan otot yang digunakan untuk bernapas, sehingga mereka sulit terlepas dari bantuan mesin.
Kadar karbondioksida dan asam yang tinggi dalam aliran darah, bercampur dengan rendahnya kadar oksigen, menciptakan suatu campuran yang mematikan. Hal ini meningkatkan kemungkinan gagal organ.
Baca Juga: Bakar Lemak Cara Cepat, Diet Jahe Mampu Turunkan Hingga 4 Kg Per Minggu
Baca Juga: 5 Penyebab Tidak Merokok Tapi Terkena Kanker Paru, Perlu Diwaspadai
Selain itu, meski tubuh pasien Covid-19 terlihat seperti sedang tertidur, demam tinggi serta respons hiperinflamasi atau badai sitokin dapat menyedot energi respons hipermetabolik.
Setelah mengalami semua ini, dokter mengingat hipotermia terapeutik atau terapi pendinginan. Penurunan suhu tubuh dapat menurunkan laju metabolisme, menghentikan tubuh menggunakan begitu banyak energi.
Kemudian hal ini diterapkan pada empat pasien yang sakit kritis dan diyakini hampir meninggal.
Setelah 48 pengobatan dan dokter telah menurunkan suhu tubuh pasien hingga 34,5 derajat Celcius, mereka menemukan bahwa hipotermia terapeutik efektif dalam meningkatkan kadar oksigen dan mengurangi aktivitas metabolik.
Hingga akhirnya mereka dapat menolong pasien terlepas dari penggunaan ventilator, lapor Fox News.
Baca Juga: Makan Serangga Seperti Jangkrik dan Ulat Sutra, Antioksidannya Melebihi Jeruk Untuk Melawan Kanker
Baca Juga: Ramai di Media Sosial Dosen Cabul Doyan Swinger, Ini Bahayanya Buat Fisik dan Mental
Atas temuan pengobatan ini, mereka mempublikasikan temuannya di jurnal medis akses terbuka Metabolism Open.
Hipotermia terapeutik juga digunakan dalam operasi jantung. Penelitian menunjukkan menurunkan suhu tubuh hingga 32 sampai 36 derajat Celcius selama 24 jam membantu menjaga fungsi otak pasien.
Meski begitu, praktik ini juga berisiko, termasuk peningkatan perdarahan, kelainan elektrolit, dan timbulnya aritmia.
Selain itu, menghangatkan kembali tubuh pasien dapat menimbulkan komplikasi berbahaya, seperti kejang, pembengkakan otak, dan meningginya kadar kalium.
Para dokter juga memperingatkan bahwa peningkatan jumlah metabolisme mungkin tidak membantu pasien tetap hidup.
Baca Juga: Angka Kanker Payudara Masih Tinggi Karena Banyak Perempuan Enggan Memeriksakan Diri
Baca Juga: Waspadai Glukoma Pada Anak dan Ciri-cirinya, Butuh Penanganan Segera
Tetapi, terapi eksperimental ini nyatanya disetujui oleh Institut Penelitian Medis Feinstein untuk mendaftarkan lebih banyak pasien sebagai peserta dalam studi lebih lanjut. (*)
#berantasstunting #hadapicorona
Source | : | Reuters,Medical News Today,NY Times,Center for Disease Control and Prevention |
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar