Diberlakukan syarat perjalanan, yakni harus PCR atau rapid.
Di mana, apabila sudah dinyatakan negatif atau non-reaktif, masyarakat baru diperbolehan melakukan perjalanan.
"Jadilah makin salah kaprah. Untuk dapat terbang, dicari-cari oleh orang-orang agar tetap negatif atau non reaktif," prihatin dia.
dr. Tonang bahkan pernah mendapati, beberapa kali terjadi, ada orang yang sebenarnya memiliki hasil PCR positif, sengaja tes antibodi dan ternyata masih non-reaktif. Jadilah orang tersebut boleh terbang.
Begitu juga sebaliknya, ada orang yang hasil tes antibodi reaktif, terpaksa PCR dan hasilnya negatif, kemudian bisa terbang.
Padahal jika tes antibodi seharusnya tidak akan berubah hasilnya hanya dalam 1-2 hari.
"Itulah, ada satu episode, bahkan merek alat rapid test sekarang tersedia 100 lebih. Semua mendapatkan rekomendasi dari lembaga yang diberi kewenangan saat itu. Entah bagaimana memastikan baku mutunya. Baru tanggal 16 Juli 2020, rekomendasi itu semua dicabut, dan dikembalikan ke alur normal. Tapi, siapa yang bisa memastikan di lapangan?" tanggap dia.
dr. Tonang menilai, sampai sekarang salah kaprah ini masih berlanjut.
Di mana, orang menggunakan tes antibodi sebagai tes untuk menemukan orang yang berpotensi menularkan virus corona.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Nikita Yulia Ferdiaz |
Editor | : | Nikita Yulia Ferdiaz |
Komentar