Bahkan, lembaga pemerintah pun melakukan yang sama.
Padahal hasil tes antibodi, sekali lagi, tidak tepat untuk menilai risiko penularan.
Untuk menilai risiko penularan, seharusnya menggunakan PCR, atau minimal tes antigen.
"Sekarang semakin banyak tempat untuk periksa PCR. Kalaupun tidak, sudah mulai ada tes antigen. Jadi sebaiknya, tidak lagi mendasarkan pada tes antibodi kalau tujuannnya mencari yang berisiko menularkan Covid-19," jelas dia.
Akibat salah kaprah ini, kata dr. Tonang, sekarang orang-orang mulai protes, misalnya hasil rapid test reaktif kok harus disuruh isolasi, tidak boleh bertugas, tidak boleh masuk kerja, tidak boleh bersosialisasi dan lain sebagainya.
Entah bagaimana, dia menjadi mengkhawatirkan, ada banyak orang yang pada akhirnya melaporkan dirinya ternyata non-reaktif dan menjelaskan hasil rapid test sebelumnya keliru.
Padahal, mau reaktif atau tidak, sebenarnya belum langsung jelas menunjukkan risiko penularannya.
"Jadilah tujuan sebenarnya tidak jelas tercapainya, tapi kita terjebak 'yang penting tidak reaktif'. Tambah parah jadinya salah kaprah kita. Jadi, Mari kita sudahi salah kaprah ini," ungkap dia.
Intinya, tidak ada salahnya untuk menjalani rapid test, tapi jika ingin hasil yang benar-benar akurat disarankan untuk menjalani tes swab. (*)
Baca Juga: Tanpa Gejala, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah jadi Menteri Keempat Positif Covid-19
View this post on Instagram
#hadapicorona
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Anggap Rapid Test Tidak Akurat Deteksi Covid-19? Sebaiknya Simak Penjelasan Ahli Berikut
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Nikita Yulia Ferdiaz |
Editor | : | Nikita Yulia Ferdiaz |
Komentar