GridHEALTH.id - Sungguh malang tenaga kesehatan (Nakes) perempuan yang berprofesi dokter ini.
Setelah menerima vaksin Covid-19 BioNTech Pfizer, dirinya malah harus mendapatkan penanganan intesif teman sejawat di rumah sakit.
Baca Juga: Sesak Napas dan Penglihatan Kabur, Begini Kondisi Terbaru Andika Mahesa Usai Positif Covid-19
Sebab setelah mendapat suntikan vaksin Covidd-19 asal Amerika Serikat dan Jerman itu dirinya mengalami kejang, sesak napas, dan adanya ruam di kulit.
Kejadian kasus efek samping vaksin Covid-19 BioNTech Pfizer ini bukan kali pertama muncul sebagai berita yang mengagetkan.
Pada 2020 lalu juga ada berita yang menyebutkan jika empat orang penerima vaksin Covid-19 BioNTech mengalami lumpuh wajah Bell's Palsy.
4 orang tersebut merupakan relawan vaksin Covid-19 Pfizer.
Tapi FDA menyebut apa yang dialami empat orang tersebut tidak berhubungan dengan uji coba vaksin Covid-19 BioNTech Pfizer.
Pakar neurologi di David Geffen School of Medicine di UCLA, Jason D Hinman menjelaskan bahwa Bell's palsy bisa terjadi karena infeksi virus pada saraf.
Baca Juga: Persiapan Anies Baswedan Jelang Vaksinasi Covid-19 di DKI Jakarta
"Ini bisa terjadi akibat trauma, tetapi lebih sering terjadi karena infeksi virus pada saraf itu sendiri," kata dia seperti dilansir Health, Jumat (11/12/2020).
Adapun virus atau bakteri yang disebut biang bell's palsy di antaranya Herpes simpleks, HIV yang bisa merusak sistem kekebalan, Sarcoidosis biang radang organ, Herpes zoster, Virus Epstein-Barr, Penyakit Lyme yang disebabkan infeksi bakteri dari kutu.
Baca Juga: Vaksinasi Covid-19 Akan Dilakukan 14 Januari 2021, Bagaimana Izin Edar dari BPOM?
Namun dari deretan virus penyebab kelumpuhan wajah tersebut tidak disebutkan bahwa virus corona dapat memengaruhinya
Bahkan, Hinman tak yakin kondisi ini bisa disebabkan SARS-COV-2 atau virus yang menyebabkan Covid-19 ataupun vaksinnya.
"Saya tidak dapat membuat hubungan langsung dengan vaksin dan menduga ini kebetulan. Angka kejadian Bell's palsy kira-kira 20 dari 100.000 orang. Sementara studi Pfizer memeriksa 38.000 pasien, jadi empat kasus Bell's palsy disebut berada dalam insiden normal yang diamati," tuturnya.
Baca Juga: Awal Januari 2021, Gedung DPRD DKI Jakarta Dilockdown, Ternyata Ada 15 Orang Positif Covid-19
Sedangkan untuk kasus seorang dokter perempuan yang mengalami kejang, sesak napas, dan adanya ruam di kulit, setelah mendapatkan vaksin Covid-19 BioNTech Pfizer, didiagnosis ensefalitis.
Melansir 24h.com.vn, pada Minggu (3/1/21), dokter perempuan yang mendapatkan vaksin BioNTech dari Pfizer tersebut adalah dokter di di Meksiko.
Dokter wanita yang tidak disebutkan namanya, harus dirawat secara di sebuah rumah sakit negara bagian utara Nuevo Leon.
"Diagnosis awal adalah ensefalitis," kata Kementerian Kesehatan Meksiko.
Tidak jelas mengapa satu suntikan vaksin Covid-19 dapat menyebabkan penyakit serius seperti dokter ini.
Kementerian Kesehatan Meksiko menambahkan bahwa dokter wanita tersebut memiliki riwayat reaksi alergi.
Baca Juga: 10 Khasiat Menakjubkan Buah Pisang Jika Dikonsumsi Ibu Hamil
Dokter wanita tersebut menunjukkan gejala ensefalitis saat masih dalam follow up setelah vaksinasi.
Kasus tersebut saat ini sedang diselidiki oleh otoritas Meksiko.
"Kami memberikan pengobatan dengan obat anti inflamasi dan antikonvulsan untuk membantu mengurangi komplikasi," Kementerian Kesehatan Meksiko mengumumkan.
Saat ini belum ada bukti ilmiah bahwa orang yang mendapatkan vaksin Covid-19 dapat mengembangkan ensefalitis, tambah Kementerian Kesehatan Meksiko.
Untuk diketahui vaksin Covid-19 BioNTech Pfizer ini hasil kerja sama antara perusahaan farmasi AS Pfizer dan mitra Jerman BioNTech.
Vaksin ini telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) AS untuk penggunaan darurat.
Negara Israel pun menggunakan vaksin ini untuk disuntikan pada seluruh rakyatnya, namun menurut Times of Israel sebanyak 240 orang justru positif Covid-19.
Baca Juga: Kriteria Pasien dengan Komorbid yang Boleh dan Tidak Boleh Divaksin Covid-19 CoronaVac dari Sinovac
Vaksin Pfizer tidak dibuat dengan virus corona itu sendiri, artinya tidak ada kemungkinan siapa pun dapat tertular dari suntikan.
Sebaliknya, vaksin tersebut berisi potongan kode genetik yang melatih sistem kekebalan untuk mengenali protein berduri di permukaan virus itu.
Dengan demikian hal itu membuat antibodi untuk menyerang jika bertemu dengan yang asli.
Tetapi proses ini membutuhkan waktu, dan penelitian tentang vaksin sejauh ini menunjukkan kekebalan terhadap virus hanya meningkat sekitar 8-10 hari setelah suntikan pertama.
Kemudian hanya memiliki keefektifan sekitar 50 persen.
Inilah sebabnya mengapa dosis kedua dari vaksin, yang diberikan 21 hari setelah yang pertama, sangat penting.
Karena mampu memperkuat respons sistem kekebalan terhadap virus, membuatnya menjadi 95% efektif dan memastikan bahwa kekebalan bertahan.
Tingkat kekebalan ini hanya dicapai sekitar satu minggu setelah dosis kedua atau 28 hari setelah yang pertama.(*)
View this post on Instagram
#berantasstunting
#HadapiCorona
#BijakGGL
Source | : | Health,Mayo Clinic,24h.com.vn,GridHealth.ID |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar