GridHEALTH.id - Siapa yang tidak kenal dengan Metode Cuci Otak alias Brain Wash yang di Indonesia bisa dibilang dipopulerkan oleh dokter Terawan Agus Putranto.
Sebab beliaulah, mantan Menteri Kesehatan ini, yang pertama kali menjadikan Metode Cuci Otak sebagai cara atau metode pengobatan di Indonesia.
Karena Metode Cuci Otak pula dokter Terawan sejak sebelum diangkat menjadi Menkes hingga tidak lagi menjabat sebagai Menkes, selalu menjadi bahan pemberitaan menarik awak media.
Bagaimana tidak Metode Cuci Otak yang dijalannya sebagai terapi pengobatan banyak diterapkan pada politisi besar dan pejabat juga mantan pejabat tersohor di tanah air, bahkan ada juga publik figur ternama yang telah merasakan Metode Cuci Otak ala dokter Terawan.
Walhasil, mereka yang mendapatkan hasil sukses seperti yang diharapkan dengan Metodeo Cuci Otak banyak yang memberikan testimoni positif secara terbuka, baik kepada media, atau melalui akun sosial medianya masing-masing.
Otomatis karena kesaksian tersebut datang dari orang terpandang, terkenal di Indonesia, followersnya pun banyak, meski kesaksian suksesnya tidak banyak, informasi mengenai Metode Cuci Otak alias Brain Wash menjadi besar dan positif, tanpa masyarakat tahu apa itu Metode Cuci Otak yang sebenarnya.
Karenanya dalam kesempatan ini Dr dr. Beni Satria, MH(Kes), memberikan penjelasan terperinci mengenai Metode Cuci Otak dokter Terawan pada Jumat, 1 April 2022 secara virtual, sekaligus menyampaikan Hasil Muktamar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ke-31, yang diikuti GridHEALTH.id.
Menurut dokter Beni dari Ikatan Dokter Indonesia dalam presentasinya, memaparkan pendapat saksi-saksi ahli mengenai Metode Cuci Otak ala dokter Terawan.
Di sini kita bisa tahu, bahwa sejatinya Metode Cuci Otak alias Brain Wash alias Brain Spa dan nama dagang lainnya, bukan temuan baru juga hal baru di dunia medis.
Baca Juga: Angka Kematian Covid-19 di Hong Kong Tinggi, Jenazah Menumpuk Hingga Pakai Peti Mati dari Kardus
Yang selama ini kita kenal dengan Metode Cuci Otak yang dilakukan dokter Terawan sejatinya adalah Intraarterial Heparin Flushing (IAHF).
Nah, IAHF itu di medis adalalah sebuah tindakan diagnosa, artinya bukan untuk pengobatan.
Jika ada tenaga medis yang melakukan metode diagnosa sebagai terapi pengobatan, apalagi jika tidak dibarengi dasar ilmiah yang jelas dan diakui, ini tentu sudah menyalahi.
Untuk diketahui, dokter bekerja secara profesional dengan dasar Evidence-based medicine.
Evidence based medicine (EBM) adalah proses yang digunakan secara sistematik untuk melakukan evaluasi, menemukan, menelaah/ me-review, dan memanfaatkan hasil-hasil studi sebagai dasar dari pengambilan keputusan klinik.
Menurut Sackett et al. (2000), Evidence-based medicine (EBM) adalah suatu pendekatan medik yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini untuk kepentingan pelayanan kesehatan penderita.
Dengan demikian, dalam praktek, EBM memadukan antara kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti-bukti ilmiah terkini yang paling dapat dipercaya.
Dengan demikian, maka salah satu syarat utama untuk memfasilitasi pengambilan keputusan klinik yang evidence-based adalah dengan menyediakan bukti-bukti ilmiah yang relevan dengan masalah klinik yang dihadapi, serta diutamakan yang berupa hasil meta-analisis, review sistematik, dan randomized double blind controlled clinical trial (RCT).
Adapun kesaksian dari ahli yang dilaporkan kepada IDI dalam hal ini Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), mengenai Metode Cuci Otak dokter Terawan, adalah sebagai berikut:
Baca Juga: Kadar Kolesterol Tinggi Bisa Muncul di Usia Anak, Begini Cara Deteksinya
Prof. Dr. Irawan Yusuf, Ph.D: Peran utama Brain Wash (BW) hanya meningkatkan cerebral blood flow pada stroke kronik, memperbaiki suplai darah ke jaringan yang infark sehingga oksigen, nutrisi dan obat bisa sampai serta memperpanjang window period, gejala klinis membaik. Tetapi simpulan yang ditonjolkan terlalu berlebihan (sebagai alternatif terapi stroke yang standar) sehingga mempertajam kontrovers.
Prof. DR. Dr. Moh. Hasan Machfoed, Sp.S(K): DSA di bidang neurologi disebut sebagai cerebral angiography, digunakan untuk DIAGNOSIS gangguan pembuluh darah otak (stroke iskemik), dimana di RS tipe A, DSA bukan merupakan hal yang baru, tetapi sudah rutin dilaksanakan untuk sarana DIAGNOSTIK, bukan diperuntukkan sebagai sarana TERAPI/ pengobatan, apalagi untuk PREVENSI/ pencegahan stroke. Mereka menyebut DSA, bukan Brain Washing.
Kenyataannya promosi BW luar biasa gencar di semua media sosial, media massa, elektronik dan lain-lain, sehingga di masyarakat timbul anggapan cuci otak atau BW merupakan cara baru yang patut dicoba terutama bagi penderita stroke
Tayangan promo Brain spa di Metro TV, Jumat 16 November 2012 menyebut “inilah satu-satunya
metode baru di Indonesia, bahkan di dunia” adalah berlebihan, dan tidak sesuai dengan guidelines/panduan manajemen stroke iskemik yang ada.
Saksi ahli melaporkan bahwa Dr. TAP melakukan BW pada seorang pasien stroke perdarahan dimana pemberian heparin merupakan kontraindikasi dan kondisi pasien tidak membaik.
Seorang sejawat di RSUD Dr. Soetomo telah melakukan BW dengan metode DSA, tetapi pasien meninggal sesudah BW, sehingga setelah itu tindakan BW dilarang untuk dilakukan lagi di RSUD Dr. Soetomo hingga sekarang. Lagi pula BW tidak memiliki bukti ilmiah
Prof. Dr. Teguh AS Ranakusuma, Sp.S(K): Bahwa penelitian dr. TAP adalah terkait clinical biomarker yang tidak dapat digunakan sebagai terapi/pengobatan pada pasien stroke, oleh karena itu Prof. Dr. Teguh AS Ranakusuma, Sp.S(K) meminta kepada Dr. TAP agar judul disertasinya yang semula menggunakan istilah BW diubah menjadi Intraarterial Heparin Flushing (IAHF).
Bahwa tindakan diagnostik ini dapat menimbulkan efek samping berupa perdarahan mikro (micro hemorrhage) atau transitional hemorrhage yang tidak tampak dengan pencitraan radiologis.
Bahwa standar pengobatan stroke iskemik sudah ada yaitu untuk stroke akut dengan trombolisis dan thrombolectomy dengan syarat tertentu.(*)
Baca Juga: Makan Banyak Mubazir, Jumlah Kalori yang Dibutuhkan Saat Buka Puasa Hanya Segini
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar