GridHEALTH.id - Hipertensi dapat menyebabkan gumpalan darah otak mengeras
dan aliran darah menuju otak terhambat sehingga memicu terjadinya stroke, mulai dari skala ringan (Transient Ischaemic Attack / TIA) sampai stroke berat yang bisa menyebabkan
kecacatan menetap / mengancam jiwa, terutama jika Hipertensi tidak ditangani.
Maka, mengelola hipertensi dengan baik sangat dibutuhkan untuk dapat mencegah terjadinya stroke tersebut.
Masyarakat dihimbau untuk mengenali dan mengendalikan tekanan darah sendiri
untuk menghindari penyakit berbahaya yang tidak diinginkan.
Salah satu bentuk kontrol tekanan darah yaitu dengan rajin mengukur tekanan darah sendiri dengan home blood pressure monitoring (HBPM).
Dan bagi pasien penderita hipertensi harus terus patuh dalam menjalani pengobatan dan pengukuran tekanan darah secara benar dan berkala.
Pasien stroke pun harus mengelola hipertensinya dengan baik agar tidak semakin parah dan berakibat kecacatan menetap atau kematian.
Dokter Eka Harmeiwaty, Sp.S, Dokter Spesialis Saraf RS Pusat Jantung Nasional Harapan
Kita menjelaskan, “Hipertensi merupakan faktor risiko utama kejadian stroke.
Setiap kenaikan tekanan darah sistolik 2 mmHg akan meningkatkan risiko stroke 10% pada orang dewasa.
Hipertensi sendiri ditemukan pada 64-70% kasus Stroke. Secara mekanisme, tekanan darah tinggi pada dasarnya menyebabkan kerusakan sel dinding pembuluh darah (sel endotel) dan mengganggu fungsi dari otot di dinding pembuluh darah nadi / arteri.
Kondisi ini dapat membuat arteri menjadi kaku dan tersumbat. Bila arteri yang tersumbat ada di bagian otak, hal ini akan membuat otak tidak mendapatkan aliran darah dan oksigen yang cukup, sehingga semakin lama semakin ban yak sel / jaringan otak yang mulai mati.
Hal ini membuat seseorang berada pada risiko stroke yang jauh lebih tinggi. Kerusakan endotel dan lapisan otot pembuluh darah arteri karena Hipertensi juga dapat menyebabkan penipisan dinding pembuluh darah arteri di otak yang dapat mengakibatkan arteri bisa / mudah pecah dan menyebabkan perdarahan di otak," ujarnya panjang lebar dalam virtual media briefing ' Waspada Hipertensi Merusak Otak! Kendalikan Tekanan Darah, Cegah Stroke' di Jakarta (31/08/2022).
Menurut World Health Organization (WHO) pada 2021 terdapat 1,4 milyar penduduk dunia
hidup dengan Hipertensi. Dan hanya 14% yang memiliki tekanan darah terkontrol.
Baca Juga: 5 Tips Untuk Mencegah Stroke, Penyebab Kematian Ketiga di Dunia
Baca Juga: Kenali Gejala Sariawan di Tenggorokan dan Cara Cepat Mengatasinya
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2018
menunjukkan prevalensi Hipertensi 34,31% dan hanya 8,8% yang terdiagnosis, 13% yang
tidak minum obat, serta 32,3% yang minum obat namun tidak teratur.
Kondisi ini hampir sama dengan hasil survei yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (PERHI), di mana tekanan darah tidak terkontrol pada 2017 menunjukkan 62,8% (di daerah urban) danpada 2018 mencapai hingga 78% (mencakup daerah urban dan rural).
Hipertensi sendiri merupakan penyakit kronik yang tidak bisa disembuhkan. Jika tekanan
darah seseorang sudah mencapai target bukan berarti dia sembuh, tapi terkontrol.
Kalau sudah terkontrol maka diharapkan bisa menghindari komplikasinya, salah satunya kerusakan otak seperti stroke.
Sayangnya, banyak orang tidak mengetahui bahwa dirinya telah menderita tekanan darah tinggi karena seringkali tidak adanya gejala.
Sering sekali seseorang terserang Stroke tiba-tiba karena hipertensinya, tetapi si penderita tidak pernah tahu bahwa dirinya memiliki hipertensi. Oleh karenanya, hipertensi sering disebut sebagai pembunuh senyap atau “silent killer”.
Penyakit Stroke sendiri merupakan penyebab kematian kedua dan penyebab disabilitas
ketiga di dunia.
Pada 2021, secara global, diperkirakan 1 di antara 4 orang dewasa berusia di atas 25 tahun pernah mengalami stroke. Diperkirakan 13,7 juta penduduk dunia mengalami stroke pertama pada tahun tersebut dan lebih dari 5,5 juta meninggal.
“Dari segi beban ekonomi untuk Indonesia, Hipertensi merupakan salah satu penyakit katastropik dan menyerap anggaran BPJS yang cukup besar.
Menurut data BPJS, pembiayaan hipertensi tahun 2016 meningkat hampir 2 kali lipat dibandingkan 2 tahun sebelumnya. Selain itu, secara tidak langsung, Hipertensi dan komplikasinya menyebabkan turunnya produktivitas karena morbiditas, disabilitas dan mortalitas bahkan pada usia muda,” tutur dr. Eka.
Untuk diketahui, faktor-faktor risiko yang bisa menyebabkan hipertensi itu sendiri, seperti usia, obesitas, makanan yang terlalu mengandung garam dan sedikit kalium, kurangnya berolahraga, merokok dan konsumsi alkohol, hingga stress.
"Faktor risiko tersebut mampu membuat tekanan darah tidak stabil. Saat ini, ada dua faktor risiko tambahan yang juga perlu diperhatikan seperti udara dingin dan polusi udara,” tutur dokter Eka.
Baca Juga: 4 Tips Mengatasi Kolesterol Tinggi Agar Tetap Dalam Batas Normal
Baca Juga: Pemberian Makanan Pada Anak Saat Diare, Hindari Gorengan dan Makanan Tinggi Serat
Terkait pengobatan hipertensi untuk mencegah stroke, selain pencegahan primer,
pencegahan sekunder juga tidak kalah penting.
Penelitian acak terkendali (Randomized Controlled Trial / RCT) menunjukkan bahwa pengobatan dengan obat anti-hipertensi dapat menurunkan risiko Stroke hingga 32%.
Beberapa golongan obat dimasukkan sebagai lini pertama yaitu golongan Calcium-channel blockers (CCB), Anti Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) atau Angiotensinogen Receptor Blocker (ARB) dan beta blocker.
Dokter Eka menjelaskan, “Selain efektivitas dan keamanan obat, saat memilih obat juga perlu mempertimbangkan kestabilan dosis obat dalam darah yang dapat mempertahankan tekanan darah dalam 24 jam.
Sehingga frekuensi pemberian obat bisa dikurangi. Golongan CCB bekerja dengan mengurangi kekakuan dinding pembuluh darah dan menyebabkan pembuluh darah arteri melebar.
Golongan CCB adalah obat yang paling banyak digunakan di seluruh dunia karena efektivitas dan keamanannya.”
Baca Juga: Pioglitazone, Obat Diabetes yang Digadang-gadang Dapat Melindungi dari Stroke
Baca Juga: 6 Jenis Makanan Alami Ampuh Menghilangkan Kram Otot dengan Cepat
Baca Juga: Anak Stunting Berisiko Mengalami Gangguan Pendengaran Saat Dewasa
Baca Juga: Penyakit Lansia, Cara Mencegah Cedera Tulang Akibat Jatuh di Rumah
"Salah satu obat golongan CCB adalah Nifedipine. Nifedipine konvensional mempunyai waktu
paruh yang pendek sehingga harus diberikan 3 kali sehari.
Namun, dengan adanya inovasi teknologi GITS (Gastro-Intestinal Therapeutic System), Nifedipine dapat diminum 1 kali sehari saja untuk menurunkan tekanan darah.
Penelitian menunjukkan, pemberian Nifedipine GITS dapat menurunkan tekanan darah lebih besar dibandingkan jenis CCB lainnya.
Frekuensi pemberian obat hanya 1 kali akan meningkatkan ketaatan pasien terhadap pengobatan hipertensi sehingga target penurunan tekanan darah dapat dicapai,” kata Dr. Gunawan Purdianto, Medical Affairs Divisi Pharmaceuticals Bayer Indonesia.
"Bayer juga senantiasa meningkatkan kesadaran pasien terkait Hipertensi di Indonesia dengan terus melakukan edukasi kepada masyarakat luas,.
Salah satunya lewat media massa. Sehingga ke depannya, kami berharap untuk terus dapat berkontribusi agar pasien hipertensi selalu mendapatkan pengobatan yang lebih tepat dan lebih baik,” pungkas Dr. Gunawan. (*)
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar