GridHEALTH.id – Pangeran Harry kembali menarik perhatian publik setelah dirinya diketahui mengidap salah satu jenis gangguan mental, agorafobia.
Melalui buku terbaru Pangeran Harry yang belum lama ini diterbitkan, dirinya menceritakan banyak hal terkait kondisinya berjuang melawan hal tersebut.
Jadi, gangguan mental seperti apa, agorafobia ini? Simak ulasannya secara mendalam dalam artikel berikut ini.
Spare merupakan memoar terbaru Pangeran Harry yang menceritakan perjuangannya dalam mengatasi gangguan mentalnya.
Otobiografi tersebut, Spare, Harry, Duke of Sussex menyoroti masalah kesehatan mental yang parah, seperti kesedihan, penyalahgunaan obat, dan mengatasi maladaptif, hingga secara terbuka Pangeran Harry bicara mengenai gangguan mentalnya yang kurang dikenal, agorafobia.
Dalam memoarnya itu disebutkan, dirinya sangat sulit melakukan peran publiknya sebagai pangeran, karena gangguan ini membuat Pangeran Harry sulit untuk berpidato dan tampil di depan umum atau berinteraksi dengan kerumunan penggemarnya.
Dikarenakan terlalu panik, Pangeran Harry sempat hampir pingsan saat harus berpidato dalam acara yang tidak dapat dihindari atau dibatalkan olehnya.
Secara umum agoraphobia atau agorafobia adalah gangguan kecemasan yang menyebabkan ketakutan yang intens dalam situasi tertentu, seperti di antara orang banyak.
American Psychological Association mendefinisikan agorafobia sebagai ketakutan yang berlebihan dan tidak rasional berada di tempat terbuka atau asing, yang mengakibatkan penghindaran situasi publik yang mungki sulit untuk melarikan diri.
Seorang psikolog klinis, Gregory Jantz, PhD menyebutkan orang dengan gangguan ini merasa semakin jauh dari rumah, semakin tidak aman secara emosional dan semakin merasa akan ada malapetaka yang datang.
Hidup dengan agorafobia disebut sangat melelahkan, karena akan mempersulit seseorang yang mengalaminya untuk terlibat dalam aktivitas sehari-hari, seperti bekerja dan menjaga hubungan sosial dengan teman dan keluarga.
Baca Juga: Pangeran Harry Pernah Sakit Kelamin, Diakui dalam Otobiografinya Berjudul Spare
Orang yang mengalami agorafobia dalam kondisi parah akan membuatnya tidak ingin meninggalkan rumah, seringkali disertai dengan perasaan takut pingsan, takut mati, takut menjadi gila, dan takut ditinggal sendirian bila keluar rumah.
Orang dengan agorafobia tidak menutup kemungkinan mengalami serangan panik, perasaan takut yang ekstrim secara tiba-tiba, dengan gejala seperti detak jantung cepat, kesulitan bernapas, sakit kepala ringan atau pusing, tiba-tiba memerah, menggigil, hingga berkeringat berlebihan.
Gejala agorafobia yang umum, selain serangan panik, yaitu:
- Palpitasi (jantung terasa berat dan denyut jantung meningkat)
- Perasaan nafasnya pendek atau tertahan-tahan
- Merasa tercekik
- Nyeri dada
- Mual atau merasa tidak nyaman di perut
- Derealisasi (merasa tidak di dunia nyata) atau depersonalisasi (merasa terpisah dari diri sendiri)
- Takut kehilangan kendali diri atau menjadi gila, hingga takut mati
- Parestesia (menurunnya sensasi)
Baca Juga: Lahiran Anak Kedua di Usia 39 Tahun, Meghan Markle Ungkap Sempat Rasakan Kesedihan Tak Tertahankan
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV (DSM IV) adalah orang dengan satu periode ketakutan sangat hebat atau kegelisahan dimana empat atau lebih gejala-gejala di atas ditemukan dan mencapai puncaknya dalam waktu 10 menit.
Beberapa faktor risiko yang dapat memicu agorafobia, antara lain:
- Memiliki gangguan panik atau fobia (reaksi ketakutan yang berlebihan)
- Mengalami peristiwa kehidupan yang penuh tekanan, seperti pelecehan, bencana alam, atau kematian orangtua
- Memiliki kepribadian gugup atau cemas
- Memiliki kerabat dekat atau keluarga dengan agorafobia
- Konsumsi zat-zat yang bisa menginduksi terjadinya serangan panik
Gangguan mental agorafobia memerlukan perhatian medis, maka mendiagnosis orang dengan gangguan ini perlu secara tepat dan terdeteksi dini, sehingga bisa mempercepat proses penyembuhan dan memastikan kualitas hidup yang baik.
Mengatasi agorafobia ini bisa dengan terapi atau pun obat-obatan, bisa juga kombinasi keduanya. Dengan terapi, seperti terapi perilaku kognitif (CBT) atau terapi perilaku dialektik (DBT), pengidap akan dapat mengidentifikasi pikiran negatif yang terkait dengan situasi pubik dan akhirnya mengatasi ketakutan mereka.
Terapi CBT online atau berbasis web juga akan sangat membantu pengidap yang mengalaminya secara intens dan mungkin takut menjalani terapi secara fisik.
Tidak lupa, dukungan dari keluarga dan teman juga sangat penting bagi seseorang yang menderita atau pulih dari agorafobia, karena ketika mereka harus menghadapi kerumunan, mereka bisa menjadi yakin saat ditemani, berbeda bila sendirian, gejalanya dapat memburuk. (*)
Source | : | Healthline,Mind.help,Majalah Kedokteran Andalas No.2. Vol.36. Juli-Desember 2012 |
Penulis | : | Vanessa Nathania |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar