GridHEALTH.id - Anggapan rokok elektronik atau vape lebih aman, membuat sejumlah orang lebih memilihnya dibandingkan rokok konvensional.
Para perokok aktif yang sedang berusaha untuk berhenti merokok beralih menggunakan vape.
Tersedianya rokok elektrik dalam berbagai varian rasa pun, membuat banyak orang yang senang dengan produk tembakau ini.
Hal-hal tersebut, berkontribusi dalam peningkatan penggunaan vape di Indonesia dalam satu dekade terakhir.
Menurut Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) pada 2011 pengguna vape hanya sebesar 0,3%. Sedangkan pada 2021 mengalami lonjakan persentasenya menjadi 3%.
"Seringkali masyarakat mengira kalau produk tembakau yang berbahaya hanya yang berbentuk rokok, tetapi sebenarnya semua produk tembakau berbahaya bagi kesehatan," kata dokter spesialis pulmonologi dan kedokteran respirasi dr. Rania Imaniar, Sp.P.K.R kepada GridHEALTH (19/5/2023).
Tahukah, kalau di dalam vape terdapat nikotin yang dapat meningkatkan kadar nitri oksida (NO) ketika dihembuskan oleh penggunanya.
Hal ini menurut dokter yang berpraktik di RS Pondok Indah-Bintaro Jaya ini, dapat memicu peradangan pada saluran napas.
"Selain itu, nikotin merupakan zat yang sangat adiktif dan memiliki aktivitas biologis yang signifikan dalam memengaruhi sistem kardiovaskular, pernapasan, imunologi, dan reproduksi," jelasnya.
Tak hanya itu, di dalam vape juga biasanya terdapat kandungan humektan dan perasa, dengan atau tanpa nikotin yang setelah diuapkan oleh alat penyemprot.
Kemudian akan menghasilkan aerosol yang senasinya mirip dengan rokok konvensional.
Baca Juga: Jadi Bahan Baku Utama, Ini Zat Berbahaya yang Dihasilkan dari Rokok Tembakau
Lebih lanjut, dokter Rania menjelaskan, humektan terdiri atas propanediol dan gliserol yang mencapai konsentrasi tinggi.
Sehingga ini memiliki potensi untuk mengakibatkan iritasi pada saluran pernapasan.
"Senyawa lain yang terdeteksi dalam aerosol adalah acetamide, suatu zat yang bersifat karsinogenik. Penggunaan vape ini juga berpotensi menyebabkan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)," ungkapnya.
Ia juga menjelaskan, Center for Disease Control and Prevention (CDC) menyatakan adanya EVALI (e-cigarette or vapping, product use associated lung injury) yang merupakan penyakit paru akibat konsumsi vape setidaknya selama 90 hari.
Penyakit baru ini menurut CDC berhubungan dengan merebaknya kasus infeksi paru berbahaya di mana terdapat kesamaan pola antar pasien, yaitu menghirup vape.
"Penyebab utama EVALI diperkirakan karena vitamin E asetat (zat tambahan beberapa produk vape) yang mengandung tetrahydrocannabinal (THC) yang masuk ke tubuh saat penggunaan vape," kata dokter Rania.
"Komplikasi EVALI antara lain: acute respiratory distress syndrome, gagal napas, kebutuhan intubasi dan ventilasi mekanis, bahkan kematian," pungkasnya.
Dalam kesempatan lain, Ketua Pokja Bidang Rokok PP-PDPI dr. Feni Fitriani Taufik, Sp.P(K), menjelaskan bahwa tubuh secara alami didesain untuk dimasuki bahan berbahaya meskipun kadarnya kecil.
"Kalaupun kadarnya sedikit dalam rokok vape, tubuh tidak siap diberikan karsinogenik, diberikan bahan-bahan yang dapat merusak jaringan paru," kata dokter Feni dalam konferensi pers Hari Tanpa Tembakau Sedunia, Selasa (30/5/2023).
Bahaya vape yang dapat meningkatkan risiko kanker, telah dijabarkan dalam penelitian bahwa pada pengguna rokok elektrik saat dicek urinenya ditemukan bahan yang bisa menyebabkan kanker kandung kemih.
Penelitian yang dilakukan terhadap tikus hewan coba pun, menunjukkan tikus yang diberikan vape mengalami gangguan pada paru, sama seperti yang diberikan rokok tembakau biasa.
Itulah bahaya vape bagi tubuh yang ternyata tak jauh berbeda dengan efek negatif yang ditimbulkan oleh rokok konvensional. (*)
Baca Juga: Fakta Vape, Dokter; 30 Kali Hisap Vape Sama dengan Nikotin 1 Batang Rokok Tembakau
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Poetri Hanzani |
Komentar