Find Us On Social Media :

KDRT Meningkat di China Selama Pandemi Virus Corona, Wanita Bisa Akses Pelakunya di Internet

Sejak pandemi Covid-19 belangsung di China, aktivitas perempuan laporkan pelonjakan kasus di China

GridHEALTH.id - Dengan puluhan ribu orang terkurung di rumah selama pandemi virus corona, ternyata memberi dampak buruk, salah satunya meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga,

Di China,  polisi mengatakan mereka mendapat laporan pengaduan yang menunjukkan peningkatan kasus kekerasan pria terhadap pasangannya, menurut situs berita Sixth Tone (24/06/20).

Para dokter aktivis mengatakan mereka melihat tanda-tanda peningkatan kasus kekerasan di dalam rumah saat kota-kota membatasi pergerakan warganya dan menetapkan kebijakan lockdown. 

Menurut hotline kekerasan domestik dan lembaga penegak hukum, laporan yang masuk lebih banyak kasus penyerangan, terutama kepada perempuan dan anak-anak.

Meskipun China mengesahkan undang-undang anti-KDRT pada 2016, perempuan mengatakan perintah penahanan, yang diamanatkan UU, jarang diberlakukan. 

Sebuah survei diselenggarakan Federasi Perempuan Seluruh China pada 2011 menunjukkan, sekitar 1 dari 4 perempuan dipukul, mengalami kekerasan verbal atau kebebasannya dibatasi oleh pasangan mereka. 

Baca Juga: Penuh Sayatan Hingga Sundutan Rokok, Manohara Sempat Minum Obat Ini Hingga Naik 8 Kg di Usia 17 Tahun

Baca Juga: Mal Sudah Buka, Beli Baju ada Aturannya, Tak Semua Boleh Dicoba

Perempuan melaporkan polisi kerap mengabaikan laporan mereka terkait KDRT karena menganggapnya sebagai masalah pribadi dan meminta pasangan tersebut untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Namun sebuah terobosan sedang disiapkan oleh sebuah kota di China timur untuk memberi efek jera kepada para pelakunya.

Pemerintah Yiwu, Provinsi Zhejiang timur sedang menyiapkan basis data untuk mengizinkan warga yang akan menikah mengecek calon pasangan mereka apakah memiliki riwayat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kebijakan ini disebut sebagai yang pertama di Negeri Tirai Bambu.

Basis data yang dapat ditelusuri itu termasuk berisi informasi pelaku kekerasan yang telah terpidana atau telah menjalani hukuman di seluruh China termasuk mereka yang dipenjara sejak 2017.

Data juga termasuk orang yang didakwa KDRT terhadap pasangan mereka, orangtua, dan saudara kandung mereka.

Basis data ini, disebut yang pertama di China menurut Federasi Perempuan Seluruh China. Basis data juga akan diperbarui secara kontinyu dan mulai tersedia pada 1 Juli. 

"Dalam banyak kasus, pihak-pihak yang terlibat hanya tahu tentang KDRT setelah menikah. Dengan membuat basis data penyelidikan, mitra dapat mengetahui sebelumnya dan mempertimbangkan apakah akan menikah,” jelas Wakil Ketua Federasi Perempuan Yiwu, Zhou Danying, kepada The Paper, situs berita yang berbasis di Shanghai. 

Baca Juga: Kulit Kering Xerosis Sering Menyerang Penderita Diabetes, Atasi Dengan Cara Ini

Baca Juga: Hati-hati, Ternyata Orang Kurus Bisa Kena Diabetes, Ini Gejalanya

Federasi perempuan adalah salah satu badan pemerintah yang terlibat dalam program ini.

 "Tujuannya adalah untuk mencegah dan mengurangi kemungkinan KDRT," lanjut Zhou, dikutip dari The New York Times, (25/06/20).

Di media sosial, banyak warga China merekomendasikan basis data baru pemerintah Yiwu ini. Seorang konselor, Lei Ming, menyerukan agar basis data diluncurkan secara nasional.

"Untuk pernikahan di masa depan atau kencan buta, tolong tunjukkan bukti nol rekor KDRT," tulisnya di platform media sosial Weibo. 

Han Jin, seorang dosen hukum di Universitas Teknik Harbin, menyebut dengan adanya basis data dapat memberi seseorang "hak untuk tahu" dan "hak untuk memilih." 

Tetapi Han menunjukkan ada dua celah yang dapat menghambat efektivitasnya.

Pertama, tidak jelas apakah pemerintah Yiwu dapat memperoleh informasi tentang orang-orang yang bukan dari kota tersebut.

Kedua, kedua belah pihak juga harus setuju untuk memberikan informasi pribadi mereka untuk pemeriksaan latar belakang. 

"Jika satu pihak tidak mau memberikan informasi seperti itu, maka kemungkinan tidak mungkin untuk mengajukan aplikasi," kata Han dalam sebuah wawancara, dikutip dari South China Morning Post. (25/06/20).

Baca Juga: Nyeri Punggung Ganggu Aktivitas, Ini Tips Untuk Mengatasinya

Baca Juga: Situasi Belum Aman Karena Tidak Ada Antibodi dan Orang yang Kebal, Jaga Diri Kunci Terhindar dari Virus Corona

“Tapi penolakan terhadap berbagai pihak itu juga akan menjadi peringatan. Jika orang itu tidak mau membiarkan Anda memeriksa informasi itu, apakah mereka memiliki sesuatu untuk disembunyikan?"

Pemerintah Yiwu mengatakan, basis data akan mengizinkan pengguna untuk melakukan dua jenis pencarian terkait data kekerasan tiap tahun, dan mereka akan menyediakan identifikasi dan informasi pribadi tentang orang yang rencananya akan dinikahi si pengguna.

Pengguna yang tengah mencari informasi ini juga diminta melampirkan sebuah surat persetujuan aturan kerahasiaan. Untuk melindungi privasi orang, pemerintah Yiwu mengatakan informasi itu tidak akan diizinkan untuk disalin dan disebarluaskan. 

Baca Juga: Refleksiologi, Pijatan Pada Telapak Kaki yang Bikin Tidur Lelap Penderita Insomnia

Baca Juga: Studi: Mengabaikan Aturan Physical Distancing Adalah Tanda Psikopat

Direktur Pusat Pendaftaran Pernikahan Kota, Gong Junting mengatakan, sistem itu hanya dimaksudkan sebagai "referensi" untuk "meminimalisir KDRT" menurut Shanghai Daily, bukan memberikan keputusan akhir apakah seseorang jadi menikah atau tidak.(*)

 

#berantasstunting #hadapicorona