GridHEALTH.id - Pandemi Covid-19 tak dipungkiri menyebabkan sebagian besar orang mengalami kecemasan hingga stres.
Bahkan, tak jarang pasien yang menderita Covid-19 mengalami stres saat mereka menjalani perawatan di rumah sakit.
Baca Juga: Jangan Anggap Remeh, Lupa Hari selama WFH Bisa Jadi Tanda Stres Akibat Pandemi Corona
Menurut sebuah studi yang terbit dalam jurnal The Lancet Psychiatry, menunjukkan bahwa orang yang jatuh sakit akibat infeksi virus corona mungkin mengalami masalah kejiwaan seperti delirium dan gangguan stres pascatrauma (PTSD) saat dirawat di rumah sakit dan berpotensi bahkan setelah mereka pulih.
Namun, efek pasca pemulihan pasien Covid-19 belum diketahui, sehingga risiko jangka panjang seperti PTSD, kelelahan kronis, depresi, dan kecemasan didasarkan pada studi SARS dan MERS, mungkin atau mungkin tidak berlaku untuk Covid-19 juga.
Sementara itu, menurut sebuah studi baru yang diterbitkan dalam The Laryngoscope, kecemasan dan depresi adalah dua gejala yang berkaitan erat dengan Covid-19.
Baca Juga: Dilarang Stres Hadapi Corona, Ini Cara Jaga Kesehatan Jiwa di Tengah Wabah Covid-19
Studi yang terbit pada 14 Juli ini mencatat bahwa suasana hati yang tertekan dan / atau kegelisahan yang ditunjukkan pada pasien yang berusia 19 tahun mungkin merupakan tanda bahwa virus mempengaruhi sistem saraf.
Meski begitu, gejala Covid-19 yang lebih parah adalah sesak napas, batuk, atau demam.
"Jika Anda bertanya kepada saya mengapa saya menjadi depresi atau cemas ketika saya positif, saya akan mengatakan itu karena gejala saya parah dan saya memiliki napas pendek atau saya tidak bisa bernapas atau saya memiliki gejala seperti batuk atau tinggi Demam, ”kata rekan penulis studi Ahmad Sedaghat dari University of Cincinnati di AS.
Sedaghat menjelaskan, "tidak satu pun dari gejala-gejala ini yang menunjukkan morbiditas atau mortalitas yang dikaitkan dengan seberapa depresi atau cemasnya pasien-pasien ini."
Baca Juga: Studi: Pasien Covid-19 Dengan Stres Berisiko Lebih Cepat Meninggal
Lebih lanjut, Sedaghat mengatakan, satu-satunya unsur Covid-19 yang dikaitkan dengan suasana hati dan kecemasan yang tertekan adalah tingkat keparahan dari bau dan rasa pasien.
Namun, penelitian ini mengingatkan bahwa mungkin tidak ada hubungan sebab akibat antara gangguan indra penciuman di SARS-CoV-2 dan gejala psikologis.
“Studi kami harus ditafsirkan dalam konteks keterbatasannya, yang paling mencolok di antaranya adalah bahwa kami tidak dapat menunjukkan hubungan sebab akibat langsung antara disfungsi chemosensory pada virus corona dan gangguan emosi,” tulis para peneliti.
Para peneliti melakukan prospektif, studi kuesioner telepon cross-sectional yang meneliti karakteristik dan gejala dari 114 pasien yang didiagnosis dengan Covid-19 selama periode enam minggu.
Dari data yang dikumpulkan, para ilmuwan menilai keparahan hilangnya bau atau rasa, sumbatan hidung, produksi lendir yang berlebihan, demam, batuk, dan sesak napas selama Covid-19.
Baca Juga: 3 Aktivitas Menyenangkan yang Mampu Usir Stres Meski Lebaran #dirumahaja
Ketika peserta mengalami Covid-19, para peneliti mengatakan 47,4% dari peserta melaporkan setidaknya beberapa hari perasaan tertekan per minggu.
Mereka mengatakan hampir seperlima dari peserta melaporkan suasana hati yang depresi hampir setiap hari.
Sayangnya dalam hal tingkat keparahan, penelitian ini mencatat bahwa 44,7% dari peserta melaporkan mengekspresikan kecemasan ringan sementara 10,5% melaporkan kecemasan parah.
"Temuan tak terduga bahwa gejala Covid-19 yang berpotensi paling tidak mengkhawatirkan mungkin menyebabkan tingkat tekanan psikologis terbesar berpotensi memberi tahu kita sesuatu tentang penyakit ini," kata Sedaghat.
"Kami pikir temuan kami menunjukkan kemungkinan bahwa tekanan psikologis dalam bentuk suasana hati atau kecemasan yang tertekan dapat mencerminkan penetrasi SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan Covid-19, ke dalam sistem saraf pusat," catat para peneliti.
Baca Juga: Jangan Asal Makan, Ternyata Makanan yang Dikonsumsi Mampu Mempengaruhi Kondisi Mood!
Sedaghat percaya mungkin ada lebih banyak penetrasi sistem saraf pusat dari virus daripada yang dilaporkan sebelumnya.
"Ini benar-benar membuka pintu bagi penyelidikan di masa depan untuk melihat bagaimana virus dapat berinteraksi dengan sistem saraf pusat," pungkasnya.(*)
#berantasstunting #hadapicorona
Source | : | sciencedaily,The Lancet,Wiley Online Library |
Penulis | : | Levi Larassaty |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar