GridHEALTH.id - Hingga Jumat (8/1/2021), ada 87.944.422 kasus positif infeksi Covid-19 di seluruh dunia, 1.898.400 kasus kematian.
Untuk penangan pandemi Covid-19, dunia saat ini masih mengandalkan 3M.
Baca Juga: Bukan Sembarang Jus, 8 Khasiat Ini Akan Dirasakan Tubuh Jika Rutin Minum Jus Wortel
Vaksin sudah mulai dijalankan dibebarapa negara, tapi belum menyeluruh.
Indonesia sendiri, kabarnya mulai start vaksinasi Covid-19 perdana minggu depan.
Sedangkan obat Covid-19, karena mereka yang sedang sakit Covid-19 tidak bisa mengandalkan vaksin, belum ada titik terang yang nyata hingga akhir tahun kemarin.
Di awal 2021, tepatnya hari ini sebuah berita dari bbc.com pada Jumat (8/1/2021), mempublish ditemukannya obat Covid-19.
Baca Juga: Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin Targetkan Maret 2022 Indonesia Capai Herd Immunity
Hebohnya dalam berita BBC, disebutkan jika obat tersebut mengurangi kematian hingga seperempat pada pasien Covid-19 parah.
Ternyata obat tersebut bukan obat yang asing bagi kita.
Obat tersebut adalah obat anti inflamasi alias obat anti perdangan.
Baca Juga: Susul Kalina Octaranny, Vicky Prasetyo Positif Covid-19: 'Mata Merah, Agak Berair'
Mengenai obat anti inflamasi untuk mengbobati pasien Covid-19, melansir News Medical Life sciences (16 November 2020) dengan judul artikel 'Study explains why anti-inflammatory drugs benefit only few people with severe COVID-19', menyebutkan pada temuan ilmiah 13 November 2020 di Science Advances, dijelaskan obat anti-inflamasi seperti deksametason hanya bermanfaat bagi sebagian kecil orang dengan COVID-19 parah.
Masih diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengidentifikasi penyebab kegagalan pernapasan pada COVID- 19 pasien.
Tapi, dalam artikel ilmiah dengan judul 'COVID-19: Review on latest available drugs and therapies against SARS-CoV-2. Coagulation and inflammation cross-talking' yang dipublish di sciencedirect.com, disebutkan bahwa SARS-CoV-2 adalah agen yang bertanggung jawab atas Covid-19.
Infeksi Covid-19 tersebut dibagi menjadi tiga fase: infeksi ringan, fase paru, dan fase inflamasi.
Untuik pengobatannya, pasien dengan masalah paru, bisa dengan Hydroxychloroquine, Remdesivir, Lopinavir / Ritonavir.
Bagi pasien yang ada dalam fase inflamasi, pilihan pengobatannya Tocilizumab, Anakinra, Baricitinib, Eculizumab, Emapalumab dan Heparin.
Obat-obatan tersebut dalam uji klinis pada manusia mulai menunjukkan beberapa hasil.
Memang dalam beberapa kasus seperti Remdesivir dan kortikosteroid, masih kontroversial hingga saat ini.
Mendukung pengobatan bagi pasien Covid-19 dengan obat antiinflamasi pun diulas oleh PMC, US National Library of Medicine National Institure of Health.
Ddalam artikel ilmiahnya yang berjudul 'Non-steroidal anti-inflammatory drugs, prostaglandins, and COVID-19', disebutkan obat antiinflamasi non steroid (NSAID) adalah obat yang sangat banyak digunakan untuk meredakan demam, nyeri, dan peradangan (gejala umum pasien COVID-19).
Obat anti inflamasi ini bekerja dengan menghambat produksi prostaglandin (PG) secara efektif melalui penghambatan enzim siklooksanase.
Baca Juga: Tokoh Agama Banyak yang Wafat, Doni Monardo: 'Klaster Keagamaan Paling Banyak Menyumbang Covid-19'
PG dapat menggunakan efek proinflamasi atau anti inflamasi tergantung pada skenario inflamasi.
Sementara itu melansir Intisari-online (8 Januari 2020), dalam beritanya disebutkan pemerintah Inggris bekerja sama dengan produsen obat, telah memastikan obat - tocilizumab dan sarilumab - terus tersedia untuk pasien Covid-19 di Inggris.
Karena diyakani obat antiiflamasi tersebut mempercepat pemulihan pasien dan mengurangi lamanya waktu yang dibutuhkan pasien yang sakit kritis dalam perawatan intensif, sekitar seminggu.
Sayangnya obat yang dimaksuh oleh pemerintah Inggris tersebut tidaklah murah.
Biaya sekitar £ 750 hingga £ 1.000 (Rp14,3 juta sampai Rp19 juta) per pasien.
Tapi jika dibandingkan dengan lamanya perawatan, keuntungan penggunaan obat tersebut justru menguntuingkan.
Bayangkan saja biaya perawsatan perhari untuk pasien Covid-19 di Inggri tembus £ 2.000 (Rp38 juta).
Prof Stephen Powis, direktur medis nasional NHS, dalam laman resminya mengatakan, "Fakta sekarang ada obat lain yang dapat membantu mengurangi kematian bagi pasien dengan Covid-19 adalah berita yang sangat disambut baik dan perkembangan positif lainnya dalam perjuangan berkelanjutan melawan virus."
Hal senda diutarakan Sekretaris Kesehatan dan Perawatan Sosial Matt Hancock, Inggris telah membuktikan berkali-kali bahwa Inggris berada di garis depan dalam mengidentifikasi dan menyediakan perawatan inovatif yang paling menjanjikan untuk pasiennya."
Adapun obat anti inflamasi yang dianjurkan Inggris bekerja meredam peradangan, yang dapat menyebabkan overdrive pada pasien Covid-19, dan menyebabkan kerusakan pada paru-paru.
Baca Juga: Bakal Berlaku 15 Hari, Anies Baswedan Ubah PSBB Transisi ke Pembatasan Jawa-Bali, Ini Aturannya
Jadi kini di Inggris, dokter disarankan untuk memberikan deksametason kepada pasien Covid-19, meskipun kondisinya memburuk dan membutuhkan perawatan intensif.
Tapi awas, kita tidak boleh serta merta menggunakan aneka obat-obatan ini semua tanpa sepengetahuan dokter yang telah mengetahui kondisi pasien.
Baca Juga: Menkes Budi Gunadi Kedapatan Cek Suhu Ditangan, Najwa Shihab: 'Sudah Akurat?'
Melansir laman Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Farmasi ITB (14 Agustus 2020), disebutkan manfaat deksametason telah dilaporkan pada kondisi infeksi paru seperti pneumonia akibat Pneumonia jirovecii yang disertai hipoksia.
Tapi kasus infeksi MERS maupun SARS, penggunaan kortikosteroid justru menghambat eliminasi virus dari tubuh.
Bahkan pada kasus pneumonia parah yang disebabkan oleh influenza, kortikosteroid menghasilkan kondisi klinis yang buruk. Bisa menimbulkan infeksi bakteri sekunder dan kematian.
Untuk kondisi Covid-19, pada studi RECOVERY menunjukkan bahwa laju kematian lebih rendah pada pasien yang mendapatkan deksametason dibandingkan terapi standar.
Namun, hasil yang menguntungkan ini hanya terlihat pada pasien dengan ventilator atau yang membutuhkan oksigen tambahan, sementara pada pasien yang tidak memerlukan oksigen tambahan, manfaat tersebut tidak terlihat.
Ingat, penggunaan deksametason jangka panjang (lebih dari 2 minggu) dapat menimbulkan beberapa efek samping seperti glaukoma, hipertensi, efek psikologis (gangguan mood, ingatan, kebingungan), kenaikan bobot badan, serta osteoporosis.
Asal tahu saja, Deksametason juga telah diketahui dapat memperparah penyakit diabetes melitus karena memiliki efek hiperglikemia.
Kekambuhan infeksi laten seperti hepatitis B dan tuberkulosis juga dapat terjadi pada penggunaan deksametason, karena kortikosteroid memiliki efek penurunan kekebalan tubuh.
Di dalam tubuh, deksametason juga dapat menurunkan kadar beberapa obat lainnya.
Oleh karena itu, keputusan untuk menggunakan deksametason pada kondisi Covid-19 terutama dengan penyakit penyerta perlu dipertimbangkan dengan bijak.
Berdasarkan berbagai pertimbangan, National institute of Health (NIH) merekomendasikan penggunaan deksametason hanya untuk pasien Covid-19 yang memerlukan bantuan oksigen (kondisi berat), dengan dosis 6 mg per hari selama 6-10 hari.
Sementara WHO, masih mengumpulkan bukti klinis yang akan digunakan untuk menentukan posisi deksametason maupun kortikosteroid lainnya pada tatalaksana Covid-19.(*)
Baca Juga: Pemerintah Pastikan Vaksin Covid-19 Aman, Meski Efektivitasnya Hanya 50 Persen
View this post on Instagram
#berantasstunting
#HadapiCorona
#BijakGGL
Source | : | intisari-online,sciencedirect.com,News-medical.net,US National Library of Medicine National Institure of Health,hmpf.fa.itb.ac.id |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar