GridHEALTH.id - Kekerasan seksual pada perempuan dan anak di Indonesia jumlah korbannya terbilang cukup tinggi.
Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) pada 2021 ada 7.004 kasus kekerasan seksual pada anak.
Sedangkan jumlah kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi sebesar 1.272 dari 8.478 total keseluruhan kasus berbagai jenis kekerasan.
Alasan korban takut melapor
Berdampak besar bagi kehidupan korban, nyatanya masih banyak korban kekerasan seksual yang tidak berani untuk melapor.
Wakil Sekertaris Jenderal Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), dr. Baety Adhayati, SpFM(K), menerangkan beberapa alasan mengapa ketakutan itu terjadi.
1. Ada ancaman
Ketika hendak melapor, korban kerap kali mendapatkan ancaman dari pelaku yang menyangkut dirinya sendiri ataupun keluarga.
"Biasanya karena diancam, awas kalau lapor nanti disebarkan videonya atau disebarkan informasi tentang dia di sekolahnya," kata dokter Baety dalam media briefung PB IDI Kekerasan Seksual Pada Perempuan dan Anak, Jumat (28/10/2022).
2. Pelaku orang terdekat korban
Tak jarang, pelaku yang melakukan tindakan asusila ini juga merupakan orang terdekat dan pada akhirnya membuat korban memilih untuk diam.
Baca Juga: Efek Traumatis Anak yang Jadi Korban Pelecehan dan Kekerasan Seksual
"Kebanyakan orangtua yang datang memeriksakan anaknya, ketika mereka mengetahui peristiwa yang terjadi, nggak nyangka padahal (pelaku) masih keluarga atau tetangga, baik dan sayang pada anak-anak, ternyata memiliki perilaku menyimpang," jelasnya.
3. Relasi kuasa
Alasan korban kekerasan seksual tidak berani melapor yang lainnya adalah karena ada hubungan kuat antara pelaku.
Misalnya saja, seperti kasus kekerasan sesksual beberapa waktu yang lalu terjadi di institusi pendidikan.
4. Stigma di masyarakat dan keluarga
Kekhawatiran stigma tentang korban kekerasan seksual yang tidak memiliki masa depan, juga termasuk alasan kebanyakan dari mereka enggan melapor.
Korban kekerasan seksual perempuan misalnya, masa depannya dianggap sudah hancur karena keperawanannya telah terenggut.
"Padahal masalah keperawanan di dunia kedokteran bukan masalah esensial. Justru, yang kita harus cermati apakah ada dampak psikologis kepada korban," ujarnya.
Dokter Baety juga menambahkan, "Karena dampaknya nanti dia berhenti sekolah, depresi, atau kemudian timbul penyakit akibat penularan seksual."
5. Hambatan psikologis
Lantaran ada stigma, korban kekerasan seksual maupun keluarganya jadi tidak berani untuk lapor.
Baca Juga: Ketahui Jenis Pelecehan Seksual, Diduga Dialami Putri Candrawati
Akibatnya, korban maupun orangtua anak korban kekerasan seksual justru menyalakan diri sendiri atas kejadian yang dialami.
6. Korban hamil hingga merasa malu
Sejumlah perempuan maupun anak yang mengalami kekerasan seksual, berujung hamil.
"Biasanya diisolir, sudah sekolahnya berhenti, dipindahkan rumahnya sampai nanti dia lahiran orang nggak tahu. Karena ada rasa malu dari korban dan keluarga," kata dokter Baety.
Fasilitas rumah sakit kurang memadai
Dalam kesempatan ini, dokter Baety juga menyoroti fasilitas pemeriksaan di rumah sakit bagi korban kekerasan seksual yang belum memadai.
Disebutkan lebih lanjut, masih ada fasilitas kesehatan yang ruang pemeriksaannya digabung dengan pasien lain dan ini tentu berdampak pada korban.
"Penting juga kita menjaga kenyamanan dari korban. Kalau korban datang ke rumah sakit, kemudian diperiksa dalam ruangan yang mungkin di IGD bersama yang lain, itu susah juga," terangnya.
"Dia susah diperiksa karena malu, nanti dilihat yang lain, ketahuan," sambungnya.
Idealnya fasilitas kesehatan mempunyai ruangan sendiri, agar privasi korban kekerasan seksual bisa tetap terjaga.
Terakhir, ia juga berharap agar lebih banyak tersedia hotline yang bisa dihubungi untuk melaporkan kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak. (*)
Baca Juga: Proses dan Efek Samping Hukuman Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual
Source | : | media briefing |
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar