GridHEALTH.id - Guru Besar Universitas Lampung sekaligus Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PEPI), Bustanul Arifin, mengatakan ketahanan pangan bukan hanya urusan supply dan demand, tapi juga urusan gizi balita dan hal itu menjadi tantangan bangsa ini di sektor pangan di masa mendatang.
Baca Juga: Mau Sehat? Begini Tips Mengkonsumsi Makanan Sesuai Anjuran Ahli Gizi
Bustanil mengungkapkan saat ini pemenuhan konsumsi pangan lain terutama protein dan vitamin di Indonesia masih sangat rendah. "Lebih rendah dibandingkan konsumsi pulsa dan rokok,” tandasnya seperti dikutip Investor Daily.
Dampak dari dua tantangan itu adalah rendahnya tingkat gizi balita. Jumlah balita kurang gizi di Indonesia masih 20%. Hal tersebut akan berefek pada daya saing bangsa di masa mendatang.
"Oleh sebab itu, rendahnya kualitas dan status gizi balita ini juga menjadi tantangan pangan Indonesia di masa mendatang,” ucap Bustanul.
Selain masalah gizi, tantangan pangan Indonesia di masa mendatang juga terkait perubahan pola konsumsi pangan yang terjadi secara global.
Survei di China baru-baru ini, saat ini anak-anak banyak mengonsumsi makanan siap saji, termasuk juga snack.
Baca Juga: Sebabkan Ainun Habibie Wafat, Beginilah 9 Tanda Kanker Ovarium yang Sering Diabaikan
"Perubahan pola konsumsi ini menjadi tantangan pangan Indonesia yang selama ini masih terfokus pada pajale (padi, jagung, dan kedelai)," ungkapnya.
Akibat dari ini, anak-anak mulai menggemari makanan cepat saji yang faktanya kebanyakan kaya lemak dan kaya gula.
Baca Juga: Begini Cara Mudah dan Cerdas untuk Mengatasi Gigi Sensitif
Tak heran bila angka obesitas pada anak kian meningkat, seiring pola hidup yang tak seimbang.
Dua tahun lalu misalnya, 2015, dikutip dari situs resmi Kementerian Kesehatan, angka obesitas anak naik 11%, menambah problem kesehatan anak selain malnutrisi atau kurang gizi, dan stunting atau tinggi badan di bawah rata-rata.
Januari 2017, Kementerian Kesehatan dalam artikel “Bayi Gendut, Lucu Tapi Belum Tentu Sehat” yang dimuat dalam situs resminya, memperingatkan kembali bahaya obesitas, yang kerap dimulai sejak usia dini.
Masalahnya, kebanyakan ibu Indonesia akan merasa bangga bila memiliki bayi bertubuh gemuk atau gendut, karena dianggap sangat sehat, lucu, dan menggemaskan.
Padahal, kondisi kelebihan berat badan, baik overweight (kegemukan) maupun obesitas (penumpukan lemak) memiliki risiko penyakit tidak menular. Maka perlu adanya perubahan pemahaman di masyarakat, anak yang gemuk belum tentu sehat.
“Dahulu masyarakat bangga jika punya anak gemuk berpipi montok. Tapi saat anaknya sudah besar, (anak itu) malu, ingin kurus, tapi susah,” ujar Doddy Izwardi, Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes.
Obesitas bukan baru-baru saja jadi perhatian Kemenkes. Pada 2012 pun, Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes mengeluarkan “Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah.”
Dalam pedoman itu dijelaskan, obesitas terjadi akibat energi yang masuk (lewat makanan) lebih tinggi daripada energi yang dikeluarkan (lewat aktivitas fisik).
Asupan energi tinggi terjadi karena konsumsi makanan dengan sumber energi dan lemak tinggi. Sementara pengeluaran energi rendah disebabkan kurangnya aktivitas fisik (sedentary lifestyle).
Pada anak sekolah, obesitas jadi masalah serius karena akan berlanjut hingga dewasa. Obesitas pada anak mengundang setumpuk masalah kesehatan seperti gangguan pertumbuhan tungkai kaki, gangguan tidur, sleep apnea (henti napas sesaat), dan gangguan pernapasan lain.
Tak hanya itu, di masa dewasa kelak, si anak akan kian diterpa ancaman lebih serius. Ia harus bersiap dihinggapi penyakit metabolik dan degeneratif macam kardiovaskuler (jantung), diabetes melitus (gangguan metabolisme karbohidrat berupa kadar glukosa/gula yang tinggi dalam darah).
Belum lagi ancaman kanker (daging tumbuh pada jaringan tubuh), osteoartritis (nyeri sendi akibat inflamasi ringan yang disebabkan gesekan ujung-ujung tulang penyusun sendi), dan hipertensi (tekanan darah tinggi).
Risiko terjangkit penyakit tersebut bukan main-main. Semisal, profil lipid (zat lemak) pada anak obesitas menyerupai profil lipid pada penderita kardiovaskuler. Ini artinya, bila obesitas dibiarkan dan tak ditangani serius, ia akan menjadi pecetus petaka. (*)
Source | : | kemenkes.go.id,Investor Daily |
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar