GridHEALTH.id - Jumlah korban meninggal di Inggris akibat infeksi virus Corona atau Covid-19 mendekati 10 ribu orang.
Ini terjadi setelah pejabat kesehatan Inggris melaporkan korban meninggal baru sebanyak 917 orang pada Sabtu (18/04/20) kemarin.
Inggris telah melaporkan sebanyak 9.875 korban meninggal akibat pademi virus corona. “Ini adalah jumlah korban terbanyak kelima sebuah negara,” begitu dilansir Reuters pada Minggu, 19 April 2020.
Sekitar 80 ribu orang di Inggris dilaporkan terinfeksi virus corona. Salah satunya adalah Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, yang sempat menjalani pengobatan di rumah sakit.
Ribuan tenaga medis terlibat di seluruh rumah sakit di Inggris untuk menyelamatkan nyawa para pasien terdampak virus corona.
Di antara para tenaga medis itu terselip Juanita Nittla. Ia adalah perawat kepala ruang di Unit Perawatan Intensif di Royal Free Hospital, London, Inggris, dan telah mengabdikan hidupnya di Badan Kesehatan Inggris (NHS) sebagai perawat spesialis perawatan intensif selama 16 tahun terakhir.
Baca Juga: Virus Corona, Bisakah Bertahan Hidup di Air Minum? Ini Penjelasannya
Baca Juga: Sindrom Mata Kering Jangan Dianggap Sepele, Bisa Menganggu Saraf di Otak Hingga Timbulkan Migrain
Tugasnya selama pandemi Covid-19, penyakit yang disebabkan virus corona, dikatakan perempuan berusia 42 tahun itu, traumatis dan menyakitkan. "Terkadang saya merasa seperti malaikat pencabut nyawa. Saya bertanggung jawab atas kematian seseorang."
Ya, mematikan alat bantu pernapasan yang disebut ventilator menjadi tugas utama Juanita.
Ventilator dapat menjadi penentu hidup dan matinya para pasien yang kondisinya parah karena Covid-19. Namun kadang-kadang, alat bantu pernapasan ini tidak mampu membantu menyelamatkan nyawa seseorang.
Ventilator mengambil alih proses pernapasan tubuh ketika virus corona sudah sampai pada tahap membuat paru-paru gagal berfungsi. Langkah ini memungkinkan tubuh pasien melawan infeksi dan sembuh, tetapi kadang-kadang tidak cukup membantu.
Tim medis harus mengambil keputusan sulit tentang kapan harus menghentikan perawatan kepada pasien yang kondisinya tidak membaik.
Keputusan diambil setelah pertimbangan matang, dengan menganalisis sejumlah faktor, seperti usia pasien, penyakit bawaan, reaksi tubuh terhadap virus dan peluang kesembuhan.
Ketika memulai tugasnya di pagi hari pada pekan kedua April, Nittla diberitahu bahwa tugas pertamanya adalah menghentikan perawatan bagi seorang perawat berusia 50-an tahun yang menderita Covid-19.
Baca Juga: Berantas Stunting, Posyandu Berikan Pendidikan dan Pantauan Gizi Keluarga
Baca Juga: Berbuka dengan Cara yang Sehat Penting Untuk Menjaga Stamina Selama Puasa
Dengan adanya pembatasan yang diberlakukan pada saat itu maka ia harus menjelaskan apa yang akan terjadi kepada keluarga dari pasien yang bersangkutan melalui sambungan telepon.
Belakangan Menteri Kesehatan Matt Hancock mengumumkan bahwa anggota keluarga pasien boleh menjenguk pasien yang sekarat, berdasarkan panduan virus corona baru.
"Saya meyakinkan kepada putrinya bahwa ibunya tidak kesakitan dan tampak nyaman," kata Nittla.
"Saya juga menanyakan tentang keinginan ibunya dan hal-hal yang perlu dilakukan sesuai dengan ketentuan agamanya."
Pasien Nittla itu ditempatkan di ruangan yang terdiri dari delapan tempat tidur, dikelilingi oleh pasien-pasien yang juga tidak sadarkan diri. "Saya tutup tirai dan matikan semua alarm."
Tim medis berhenti sejenak dan berhenti berbicara, Nittla lalu menempelkan telepon di samping telinga pasien, dan memberi aba-aba kepada putri pasien untuk berbicara.
Nittla memainkan musik sesuai yang diminta keluarga. Kemudian ia mematikan ventilator. "Saya duduk di sampingnya, memegang tangannya sampai ia meninggal dunia," ungkapnya.
Baca Juga: Studi: Puasa Untuk Kesehatan 3 Hari Memperbarui Sistem Kekebalan Tubuh
Baca Juga: 5 Manfaat Berenang Untuk Pasien Diabetes, Turunkan Gula Darah Hingga Bikin Langsing
Pasien mengembuskan napas terakhir lima menit setelah Nittla mematikan ventilator.
"Saya melihat cahaya berkedip-kedip di layar dan detak jantung menunjukkan angka nol - garis datar - di layar," jelasnya. Langkah selanjutnya, Nittla mencabut selang obat bius.
Putri dari pasien masih berbicara kepada ibunya dan mendoakannya melalui sambungan telepon. Nittla mengambil telepon dan mengabarkan kepadanya bahwa ibunya telah tiada.
"Dengan bantuan seorang kolega, saya memandikan jenazah di tempat tidur dan membungkusnya dengan kain putih dan memasukkan jenazah itu ke dalam kantong mayat. Saya membuat tanda salib di keningnya (sesuai permintaan keluarga) sebelum menutup kantong itu," tambah Nittla.
Nittla menuturkan kenyataan bahwa ia mampu merawat pasien yang sekarat telah membantunya menangani krisis.
Karena jumlah pasien meningkat drastis, kapasitas unit kritis di Royal Free Hospital ditambah dari 34 menjadi 60 tempat tidur.
"Biasanya di unit perawatan kritis kita memberlakukan rasio satu perawat untuk setiap pasien. Sekarang satu perawat untuk tiga pasien," kata Nittla. "Jika situasi memburuk nanti, satu perawat untuk enam pasien."
Baca Juga: Sebelum Donor Darah Wanita Wajib Konsumsi Suplemen Zat Besi, Ini Alasannya
Baca Juga: Studi: Kelebihan Suplemen Kalsium Tingkatkan Risiko Kanker
Beberapa perawat yang bekerja satu tim dengan Nittla sudah menunjukkan gejala-gejala virus corona dan sekarang menjalani isolasi diri. Rumah sakit melatih perawat-perawat dari unit lain untuk bekerja di bagian perawatan kritis.
"Sebelum memulai tugas, kami berpegangan tangan dan mengatakan 'semoga selamat!'. Kami saling memperhatikan. Kami memastikan semua orang mengenakan sarung tangan, masker dan alat pelindung diri secara benar," kata Nittla.
Unit Perawatan Intensif di Royal Free Hospital mencatat satu kematian setiap hari, jauh di atas rata-rata sebelum pandemi virus corona. "Menakutkan," ungkap Nittla.
Sebagai perawat kepala ruang, ia terkadang harus mengesampingkan ketakutannya sendiri.
"Saya benar-benar mengalami mimpi buruk. Saya tidak bisa tidur. Saya khawatir terkena virus. Semua orang takut." Tahun lalu, ia cuti kerja selama berbulan-bulan setelah terinfeksi tuberkulosis. Ia sadar kapasitas paru-parunya berkurang.
"Orang-orang menasihati saya untuk tidak bekerja tetapi ini sedang ada pandemi. Saya singkirkan semuanya dan saya laksanakan pekerjaan saya," katanya.
Baca Juga: Salah Pakai Celana Dalam Bisa Sebabkan Kanker? Ini Faktanya
Baca Juga: Wanita Jangan Takut Latihan Beban, Bisa Turunkan Risiko Kanker Usus
"Di akhir jam kerja, saya masih memikirkan pasien-pasien yang meninggal dunia yang saya tangani, tetapi saya berusaha melupakannya ketika saya keluar dari rumah sakit." (*)
#berantasstunting #hadapicorona
Source | : | Reuters,BBC |
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar