GridHEALTH.id - Setelah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat ( PPKM) Jilid 1 dan 2 di Pulau Jawa dan Bali dinilai tak efektif menekan laju penyebaran Covid-19, mulai Selasa (9/2/2021) pemerintah akan memberlakukan PPKM mikro di sejumlah wilayah di 7 provinsi.
Lalu, apa perbedaan PPKM mikro dan PPKM? Jika menilik detil aturannya pada PPKM berbasis mikro, ada ketentuan pembentukan posko penanganan Covid-19 di tingkat desa dan kelurahan dalam rangka pengendalian Covid-19.Sebelumnya, ketentuan ini tidak ada pada PPKM jilid I dan II.
Pada PPKM jilid I, jam operasional restoran dan pusat perbelanjaan dibatasi hingga pukul 19.00. Sementara, pada PPKM jilid II, jam operasional lebih longgar, hingga pukul 20.00 WIB.
Aturan pada PPKM mikro lebih longgar lagi, di mana jam operasional mal/pusat perbelanjaan diizinkan hingga pukul 21.00 WIB.
Tujuan dari program pemerintah ini memang mulia, yakni untuk melakukan pembatasan pergerakan penduduk, demi mencegah penyebaran virus corona penyebab Covid-19.
Tetapi rupanya hal ini menjadi perhatian dari pakar epidemiologi yang mengatakan, kebijakan ini bisa membingungkan dan malah bisa 'mencederai' tujuan mulianya.
Baca Juga: 6 Hal Ini yang Harus Dihindari Saat Menstruasi Datang, Bisa Berbahaya
Pakar Kesehatan Masyarakat dan Ahli Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Dr. dr. Windhu Purnomo, MS mengaku PPKM mikro ini jelas berlawanan dengan prinsip keilmuan.
Sebab, testing dinilai menurun. Jika testing semakin kecil, maka seharusnya PPKM harus semakin ke makro.
"Karena kita tidak tahu petanya, mana RT yang aman dan tidak aman, karena testingnya rendah. Yang dianggap rendah bisa saja di sana berisiko tinggi, cuman belum terdeteksi.
Lihat postingan ini di Instagram
Berbeda dengan Hong Kong mampu melakukan mikro karena testingnya tinggi, makin tinggi testing tracing, petanya makin jelas itu bisa mampu makin mikro," kata Windhu dikutip dari detikcom (09/02/2021).
Windhu menambahkan, PPKM mikro ini dianggap terlalu berani diterapkan di saat testing dan tracing sangat rendah dan menurun.
"Testing dan tracing masih rendah, jangan melakukan pembatasan mikro. Nanti orang-orang yang dianggap aman bisa keluar semaunya. Padahal dia adalah mungkin orang-orang berisiko," jelasnya.
Seharusnya, kata Windhu, PPKM dikembalikan lagi ke tingkat kabupaten/kota tanpa tebang pilih. Semua daerah di Jawa-Bali harus melakukan PPKM tingkat kabupaten/kota.
Baca Juga: 5 Hal yang Bakal Terjadi Pada Tubuh Saat Berhenti Makan Daging
Baca Juga: Studi: Tidur Siang Kurang dari 2 Jam Mampu Tingkatkan Kesehatan Otak
Kalau menerapkan PPKM, maka dikembalikan lagi dengan cara yang benar, yakni dikembalikan ke kabupaten/kota, tetapi tidak dengan mikro. Sebab PPKM mikro menyebabkan testing rendah. Sementara untuk ketentuan zona, selama ini dinilai tidak dipatuhi daerah terlebih zona merah.
Windhu meminta untuk jangan terus menerus melakukan coba-coba saat pandemi Covid-19.
Harus bersungguh-sungguh jika ingin berbasis masyarakat, seperti kampung tangguh. Namun jangan menerapkan PPKM mikro yang membuat zonasi yang justru berbahaya. Sebab, peta zonasi belum menggambarkan yang sesungguhnya alias seperti peta buta.
"Jadi kalau memang mau betul-betul mau di tingkat RT/RW, bukan zonasi seperti ini. Tapi yang dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat untuk pencegahan, penanganan, sampai sumber dayanya saling membantu karena tidak boleh bergerak," ujarnya.
Karena sudah terlanjur diterapkan, Windhu menyarankan PPKM mikro ini jangan lama-lama. Setelah itu kembali ke makro.
"Dan ketika makro, semua kabupaten/kota di Jawa-Bali dilakukan secara serentak. Zonasi itu harus betul-betul membawa konsekuensi kebijakan dan implementasinya, berdayakan masyarakat bahwa penanganann pandemi gerakan masyarakat," tambahnya.
Dia menegaskan, tracing yang semakin rendah itu seharusnya semakin makro, bukan semakin mikro.
"Hal itu dinilai keliru secara konseptual dan keilmuan. Sebab tidak memiliki peta, tetapi berani mengambil skala mikro yang justru bisa membahayakan dan menjadi bom waktu.
Baca Juga: Tak Usah Malu-malu, Uang Memang Menjadi Sumber Kebahagiaan, Studi
Baca Juga: 6 Skrining Kesehatan Penting Untuk Menjaga Pria Agar Tetap Sehat
Karena RT yang dianggap risiko rendah hijau atau kuning kemudian warganya dibebaskan, longgar. Padahal mungkin di situ adalah zona hijau dan kuning yang palsu, karena testing yang rendah. Artinya ini berbahaya. Kalau mau melakukan mikro lakukan tracing dan testingnya dulu. Sebanyak-banyaknya." (*)
Source | : | Kompas.com,detik.com |
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar