Fakta lainnya, tubuh kita akan memetabolisme berbagai zat kimia termasuk BPA.
BPA yang secara tidak sengaja masuk ke dalam tubuh, akan dibuang dan tidak terakumulasi di dalam tubuh.
“Hati atau liver bisa memecah rantai BPA, dan dibuang melalui saluran pencernaan lewat BAB. Ada sebagian yang masuk ke ginjal, dan dibuang melalui urin,” jelas Dr. dr. Aswin.
EMA (European Medicines Agency) dan BfR (Federal Institute for Risk Assessment - Jerman) misalnya, memiliki nilai referensi yang lebih tinggi, yaitu 50 mikrogram/kg berat badan per hari. Adapun BfR menetapkan batas 0,2 mikrogram kg BB/hari.
Sebagai informasi, 1 mikrogram = 1.000 nanogram. Maka bila dikonversi ke nanogram, TDI di Jerman yaitu 200 nanogram/kg BB/hari.
Di Indonesia, batas aman toleransi atau TDI BPA belum diatur, namun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menetapkan batas migrasi maksimum BPA 0,05 mg/kg. Ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan.
Ditegaskan oleh Dr. dr. Aswin, isu bahwa BPA menyebabkan diabetes, kolesterol tinggi, kanker, infertilitas dan lain-lain, adalah mitos yang menyesatkan.
“Tidak ada satu pun dari penyakit ini yang disebabkan oleh BPA. Penyebab diabetes bukanlah BPA, melainkan penurunan produksi insulin akibat gaya hidup yang kurang baik, dan usia,” terang Dr. dr. Aswin.
Demikian pula dengan kanker, infertilitas, obesitas, dan berbagai penyakit degeneratif lainnya.
Dr. dr. Aswin maupun Prof. Nugraha mengingatkan, jangan mudah termakan isu yang beredar dan tidak bisa dipercaya kebenarannya.
“Jangan khawatir berlebihan dengan isu-isu seperti itu. Banyak sekali bahan kimia yang lebih berisiko, misalnya asap rokok, sedangkan BPA belum masuk kategori karsinogen. Bijaklah memilih informasi yang benar. Jangan sampai terlalu cemas sampai tidak mau minum air. Hiduplah yang baik-baik saja,” pungkas Dr. dr. Aswin. (*)
Penulis | : | Ratnaningtyas Winahyu |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
Komentar