GridHEALTH.id - Orang sering bertanya, apa perbedaan antara rasa sakit emosional dan rasa sakit fisik?
Rasa sakit fisik biasanya hanya menyisakan sedikit sisa (kecuali keadaan cedera itu traumatis secara emosional) sementara rasa sakit emosional meninggalkan sisa seperti pengingat, asosiasi, dan pemicu yang mengaktifkan kembali rasa sakit kita saat kita menghadapinya.
Masalahnya, kita cenderung memantau tubuh dan kesehatan fisik kita jauh lebih banyak daripada kesehatan emosional kita.
Misalnya, kita tak pernah absen melakukan pemeriksaan fisik tahunan tetapi gagasan untuk melakukan 'pemeriksaan psikologis' sama sekali asing, sangat amat jarang yang melakukannya.
Kita tahu bahwa jika cedera fisik kecil seperti sayatan menjadi lebih menyakitkan dari waktu ke waktu, itu adalah tanda infeksi yang lebih serius.
Tetapi jika gagal mendapatkan promosi di tempat kerja masih menyakitkan secara emosional setelah beberapa minggu, kita tidak menyadari bahwa kita mungkin mengalami depresi.
Kita cenderung bereaksi terhadap rasa sakit fisik jauh lebih proaktif daripada yang kita lakukan terhadap rasa sakit emosional.
Namun, selain cedera atau penyakit yang membawa bencana, rasa sakit emosional sering kali berdampak jauh lebih besar pada kehidupan kita daripada rasa sakit fisik.
Berikut adalah lima alasan rasa sakit emosional lebih buruk daripada rasa sakit fisik, yang oleh karenanya butuh penanganan yang juga serius. Dikutip dari Psychology Today;
Baca Juga: Orang Stres Pikiran hingga Sakit Fisik Tidak Boleh Dapat Vaksin Covid-19, Benarkah Hal Itu?
Baca Juga: Healthy Move, Amankah Berolahraga dengan Bertelanjang Kaki? Ini Jawaban Ahli
1. Kenangan memicu rasa sakit emosional, tapi bukan rasa sakit fisik
Mengingat saat kita patah kaki tidak akan membuat kaki kita sakit, tetapi mengingat saat kita merasa ditolak atau diputuskan pacar/kekasih/suami akan menyebabkan rasa sakit emosional yang substansial.
Kemampuan kita untuk membangkitkan rasa sakit emosional hanya dengan mengingat peristiwa-peristiwa yang menyusahkan sangat mendalam dan sangat kontras dengan ketidakmampuan total kita (untungnya) untuk mengalami kembali rasa sakit fisik.
2. Kita menggunakan rasa sakit fisik sebagai pengalihan rasa sakit emosional, dan bukan sebaliknya
Beberapa remaja dan orang dewasa berlatih 'memotong' (mengiris tubuh mereka secara dangkal dengan pisau) karena rasa sakit fisik yang ditimbulkannya mengalihkan mereka dari rasa sakit emosional mereka, sehingga menawarkan mereka kelegaan.
Tetapi hal yang sama tidak berlaku sebaliknya, itulah sebabnya kita jarang melihat seorang wanita memilih untuk mengatasi rasa sakit saat melahirkan secara alami dengan membaca ulang surat penolakan dari perguruan tinggi pilihannya.
Sayangnya, meskipun kita mungkin lebih menyukai rasa sakit fisik daripada rasa sakit emosional, orang lain melihat rasa sakit kita secara berbeda.
3. Rasa sakit fisik jauh lebih banyak mendapat empati dari orang lain dibanding rasa sakit emosional
Ketika kita melihat orang asing tertabrak mobil, kita mengernyit, terkesiap, atau bahkan berteriak dan berlari untuk melihat apakah mereka baik-baik saja.
Baca Juga: Baru Sehari PPKM Level 2, Mendagri Tito Karnavian Tetapkan Kawasan Jabodetabek Kembali ke Level 1
Baca Juga: Vaksin Booster Bakal Jadi Syarat Mobilitas Warga, Begini Cara Mendapatkannya
Tetapi ketika kita melihat orang asing diganggu atau diejek, kita tidak mungkin melakukan hal-hal itu.
Studi menemukan bahwa kita secara konsisten meremehkan rasa sakit emosional orang lain tetapi bukan rasa sakit fisik mereka.
Selanjutnya, kesenjangan empati untuk rasa sakit emosional ini berkurang hanya jika kita sendiri pernah mengalami rasa sakit emosional yang sama baru-baru ini.
4. Rasa sakit emosional muncul dengan cara yang 'tidak sesakit' secara fisik tetapi dampaknya lebih besar
Jika kita mendapat telepon tentang orangtua kita yang sekarat saat sedang makan malam romantasi dengan pasangan, mungkin perlu beberapa tahun lagi sebelum kita dapat menikmati makan malam yang romantis.
Setiap kenangan muncul, kita menjadi enggan untuk mengadakan makan malam karena tak ingin teringat saat dikabari orangtua yang sekarat.
Tetapi kalau kita patah kaki karena melakukan hobi kita, misalnya berlari, hampir dipastikan, setelah sembuh kita akan berlari lagi.
Ini karena rasa sakit fisik meninggalkan sedikit kenangan (kecuali keadaan cedera itu traumatis secara emosional) sementara rasa sakit emosional meninggalkan banyak pengingat, asosiasi, dan pemicu yang mengaktifkan kembali rasa sakit kita ketika kita menghadapinya.
5. Sakit emosional, bukan sakit fisik, dapat merusak harga diri kita dan kesehatan mental jangka panjang.
Baca Juga: Ini Jenis Vaksin yang Membutuhkan Booster Agar Perlindungan Terhadap Infeksi Virus Corona Terjaga
Rasa sakit fisik harus cukup ekstrem untuk mempengaruhi kepribadian kita dan merusak kesehatan mental kita (sekali lagi, kecuali keadaannya juga traumatis secara emosional).
Ttetapi bahkan satu episode rasa sakit emosional dapat merusak kesehatan emosional kita. Misalnya, gagal dalam ujian di perguruan tinggi dapat menciptakan kecemasan dan ketakutan akan kegagalan.
Satu penolakan yang menyakitkan dapat menyebabkan penghindaran dan kesepian selama bertahun-tahun, bullying di sekolah menengah dapat membuat kita malu dan tertutup sebagai orang dewasa, dan bos yang kritis dapat merusak harga diri untuk tahun-tahun mendatang.
Semua alasan di atas menjadi penguat mengapa kita harus memberikan perhatian yang sama, bahkan lebih pada kesehatan emosional kita seperti halnya kesehatan fisik kita.
Sayangnya, kita jarang melakukannya. Sementara kita mengambil tindakan pada pandangan pertama dari pilek atau keseleo otot, kita tidak melakukan banyak hal untuk 'mengobati' cedera emosional umum seperti penolakan, kegagalan, rasa bersalah, merenung, atau kesepian ketika kita mempertahankannya.
Baca Juga: MUI Fatwakan Vaksin Covid-19 CanSino Haram, Mengandung Embrio Janin Bayi
Baca Juga: Harapan Hidup Setelah Serangan Stroke, Berapa Lama? Ini Kata Pakar
Baca Juga: Sering Mengalami Sakit Kepala Konstan Di Malam Hari? Waspadai 7 GejalaTersembunyi Kanker Otak
Sementara kita mengoleskan salep antibakteri pada luka atau goresan segera, kita tidak berbuat banyak untuk meningkatkan atau melindungi harga diri kita ketika harga diri kita rendah.
Memang, kita mungkin tidak tahu tindakan apa yang dapat kita ambil dalam situasi seperti itu, tetapi kabar baiknya adalah bahwa informasi semacam ini sudah tersedia. Banyak tenaga ahli yang tersedia seperti psikolog dan psikiater.
Bahkan progam BPJS yang diselenggarakan pemerintah, menyediakan konseling kejiwaan pada beberapa puskesmas, fasilitas kesehatan tingkat pertama, dan rumah sakit umum daerah. Semuanya gratis apabila kita menjadi anggota BPJS. (*)