GridHEALTH.id – Oktober 2003 Indonesia dihebohkan dengan flu burung yang akhirnya masuk Indonesia.
Hal ini mulanya diketahui di Jawa Timur, dengan banyaknya ternak ayam yang mati mendadak di sana.
Awal 2004, pandemi flu burung semakin membuat heboh Indonesia karenya menyebabkan kematian 10 juta ayam petelur.
Paling menghebohkan adalah saat WHO menyatakan flu burung sudah terjadi human to human transmission.
Baca Juga: Sering Sariawan di Saat Puasa, Ini Penyebab dan Cara Mengatasinya
Di sinilah mulai kita kenal istilah pandemi flu burung. Banyak orang ketakutan karenanya, sampai enggan untuk konsumsi semua hal yang berhubungan dengan unggas.
Hingga 13 Juli 2009, melansir detik.com (13 Juli 2009), di Indonesia sudah terdapat 86 kasus positif flu H1N1 di indonesia, terdiri dari 52 laki-laki 34 perempuan yaitu; 24 Juni (2 kasus), 29 Juni (6 kasus), 4 Juli (12 kasus), 7 Juli (8 kasus), 9 Juli (24 kasus), 12 Juli (12 kasus).
Karenanya manusia di Indonesia saat itu bisa dibilang memusuhi hewan satu ini.
Wabah flu lainnya yang pernah melanda Indonesia adalah flu babi.
Flu babi mulai dideteksi pemerintah Indonesia usai flu burung. Jadi masih di 2009.
Untungnya flu babi ini tidak menjadi wabah heboh di Indonesia, seperti di luar negeri khususnya di Puerto Rico yang sampai memakan korban jiwa manusia.
Baca Juga: Menggunakan Sarung Tangan Bukan Berarti Terhindar dari Virus Corona
Baca Juga: Catat! 11 Wilayah ini Resmi Disetujui Kemenkes Terapkan PSBB
Intinya flu babi tidak menjadi wabah di Indonesia, dan tidak adanya berita korban jiwa manusia karenanya.
Sekarang, Indonesia kembali dihadapkan pada pandemi Covid-19, yang awalnya bernama SARS CoV2, yang berawal dari Wuhan China.
Mampukah Indonesia menyingkirkannya dengan sukes, seperti 2 flu terdahulu?
Mengenai hal ini ada cerita menarik dari mantan Menteri Kesehatan yang sukses mengenyahkan virus flu burung dan babi dari Indonesia.
Beliau adalah Siti Fadilah Supari yang kini masih berada di balik jeruji besi rutan Pondok Bambu Jakarta Timur.
Cerita berikut ini dilansir GridHEALTH.id dari berita hasil wawancara yang publikasikan alinea.id (14 April 2020).
Baca Juga: Berantas Stunting: Ancaman Serius Generasi Masa Depan Indonesia
Menurut Siti Fadilah Supari, saat pandemi flu burung dirinya bisa mematahkan secara scientific mengenai pernyataan WHO yang mengatakan sudah terjadi human to human transmission.
Dirinya saat itu dengan tegas mengatakan bahwa apa yang diungkapkan WHO itu bohong belaka.
Saat itu WHO menggunakan kriteria epidemiologi, “Saya menggunakan virologi yang lebih definit,” papar Siti Fadilah Supari.
Dirinya saat itu protes ke PBB. Hasilnya pernyataan pandemik dicabut oleh WHO pada 2006.
Baca Juga: Maksimalkan PSBB Operasional KRL Bodetabek Diberhentikan Sementara
Baca Juga: Virus Corona Memang Bukan Main, Selain Menginfeksi Paru-paru, Ginjal dan Hati Juga Diserang
Lalu Siti Fadilah Supari membuat resolusi yang didukung oleh 128 negara.
Diakuinya saat itu dirinya menghadapi negara adidaya yang selama ini membiayai WHO dan membuat sistem yang tidak adil.
Resolusi Indonesia, di bawah kepemimpinannya berhasil disetujui di dunia pada 2011.
Menurut pengakuan Siti Fadilah Supari, dirinya tidak hanya menduga-duga tentang kongkalingkong WHO dengan perusahaan-perusahaan farmasi.
“Saya melihat buktinya ketika parlemen Uni Eropa menggerebek WHO saat itu,” paparnya.
Prihal flu babi, pada pertengahan 2008, “Saya tahu virus H1N1 Puerto Rico, yang kemudian disebut flu babi, itu berada di CDC (Centre for Disease Control and Prevention) Atlanta. Saya tahu dan berkomunikasi dengan pejabatnya di sana,” beber Siti Fadilah Supari.
Baca Juga: Agar Anak Semangat Puasa, Sajikan Menu Buka Puasa yang Lezat dan Sehat
Tapi, lanjutnya, sewaktu WHO mengembalikan virus H5N1 yang diminta, ternyata ada yang tercampur dengan H1N1.
Nah, ketika pandemi flu babi merebak, “Saya meneriakkan bahwa virus itu berasal dari laboratorium besar dan bukan berasal dari binatang seperti yang dikatakan WHO.”
Teriakan Siti Fadilah Supari disambut para ahli dari Kanada dan Eropa. Akhirnya, status pandemi itu berhenti.
Jadi hanya Meksiko yang hancur ekonominya.
Baca Juga: Studi Pada Tikus: Rekayasa Virus Dapat Memblokir Infeksi Virus Corona
Indonesia belum terimbas sama sekali. Karena Indonesia bekerja sama dengan negara yang ada di perbatasan dengan Indonesia, yaitu Singapura, Brunei, Malaysia, yakni, bila ada WNI H1N1 positif, tidak boleh masuk Indonesia.
“Saya minta tolong agar diobati dulu di negara Singapura, Malaysia atau Brunei dan saya handle sendiri untuk mengumumkan hasil pemeriksaan spesimen orang yang suspect.” jelasnya.
Prihal Covid-19 yang sekarang tengah melanda Indonesia, Siti Fadilah Supari mengaku dirinya sedih dan menangis.
Menurutnya, sebenarnya Covid-19 ini bisa dilawan di China ketika (kasus-kasus awal) mulai muncul pada 1 Januari sampai dengan 31 Januari.
Tapi sayang, paparnya, itu tidak dilakukan oleh China. Hingga terus berlanjut hingga 11 Maret ketika Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi.
Baca Juga: Cegah Kelahiran Generasi Stunting, dengan Terapkan Upaya Berikut
“Sedihnya tidak ada seorang pun saat itu yang protes prihal kriteria PHEIC (Public Health Emergency of International Concern) yang (dikeluarkan WHO) 31 Januari itu benar? Dan, kriteria pandemik saat itu apakah sudah sesuai?” papar Siti Fadilah Supari.
Menurutnya semuanya terjadi begitu saja. Padahal, waktu antara itu sangat penting untuk kita bersiap-bersiap. Tapi, tidak ada yang perhatian.
Hingga akhirnya Covid-19 sampai ke negara Indonesia.
Lalu Siti Fadilah Supari pun menyatakan, para pemimpin lupa, teamnya waktu itu, sebenarnya adalah aset yang berharga, karena berpengalaman langsung dengan pandemi dan bisa melihat solusinya.
Baca Juga: Khawatir Tak Kebagian APD, Sang Kakak Beri Pesan Khusus Untuk Fairuz A Rafiq
Baca Juga: Tukang Cukur Meninggal Dunia Akibat Covid-19, Diduga Tertular saat Melayani Pelanggan
Mengenai penanganan pandemi Covid-19 ini, menurut Siti Fadilah Supari yang mimpin penanggulangan Covid-19, apa pun namanya, adalah harus orang yang menguasai substansi ilmiah dan substansi politik kesehatan sekaligus.
“Tampaknya, ini tidak terjadi dalam (penanganan) Covid-19 di Indonesia. Ini bencana kesehatan. Bukan bencana gempa atau tsunami. Penanganannya tentu sangat beda,” tegasnya.
Siti Fadilah Supari pun mengatakan, aset-aset fisik dari (penangangan) flu burung sangat bisa digunakan. Misalnya, 100 ICU (intenstive care unit) khusus flu burung di seluruh Indonesia.
Indonesia punya pakar dan ahli virologi yang bisa diajak untuk membuat program pencegahan dan sebagainya.
Baca Juga: Tukang Cukur Meninggal Dunia Akibat Covid-19, Diduga Tertular saat Melayani Pelanggan
“Lab litbangkes yang sekarang adalah peninggalan (penanganan) flu burung yang sangat baik, misalnya, di RS Sulianti Saroso dan sebagainya.”
Apa yang dilakukan saat ini sudah benar menurut Siti Fadilah Supari.
Tapi Physical distancing yang sudah dijalankan sekarang ini harus tegas. Juga jangan lupa screening masif dan serentak. Dengan begitu, akan jelas mana yang positif dan negatif Covid-19.
Screening harus menggunakan swab test yang sesuai dengan virus kita, setara dengan pemeriksaan menggunakan PCR (polymerase chain reaction), tapi langsung bisa dibaca (hasilnya).
Yang sudah menggunakan metode ini Korea, Singapura, Middle East.
Prihal rapid test yang dibeli harus dilihat juga, namun ada risikonya karena virusnya memang tidak sama.
Tak kalah pentingnya, menurut Siti Fadilah Supari penanganan wabah harus kompak jangan ada tarik-menarik antara pusat dan daerah.(*)
Baca Juga: Update Covid-19; Indonesia Peringat I Kematian Covid-19 Terbanyak di Asia Tenggara
#berantasstunting
#HadapiCorona
Source | : | alinea.id |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar