GridHEALTH.id - Tim advokasi yang mewakili keluarga korban gangguan ginjal akut progresif atipikal mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Bersama dengan keluarga korban, kuasa hukum menceritakan secara rinci kronologis terjadinya gangguan ginjal yang diakibatkan oleh obat sirup dengan cemaran EG dan DEG.
"Kami menyampaikan tadi, korban juga menyampaikan secara kronologis bagaimana peristiwa ini terjadi. Yang jelas bahwa keracunan obat sirup, di mana etilen glikol dan dietilen glikol adalah penyebab utamanya," kata kuasa hukum Awan Puryadi di gedung Komnas HAM, Jumat (9/12/2022).
Awan menjelaskan, anak-anak yang mengalami gangguan ginjal baik yang masih menjalani perawatan maupun yang sudah meninggal minim perhatian.
Sejumlah anak yang dirawat misalnya, tidak mendapatkan perlakuan khusus dan peralatan yang dibutuhkan dinyatakan tak ada.
"Masalah penanganan yang sedang dirawat, dicover BPJS saja tanpa ada kekhususan," ujarnya.
"Bahkan alat-alat atau perlengkapan medis yang dibutuhkan, yang seharusnya dicover BPJS dinyatakan tidak ada stoknya, disuruh cari sendiri," jelas Awan.
Sementara untuk pasien yang dinyatakan meninggal dunia, untuk biaya perawatan jenazah maupun ambulance, tak ditanggung oleh BPJS.
Lebih lanjut, Awan menjelaskan bahwa tim kuasa hukum melakukan komunikasi intens dengan 50 keluarga korban.
Hanya saja, untuk saat ini yang memberikan kuasa kepada ia dan timnya ada sekitar 25 keluarga.
Ketidak hadiran pemerintah dalam kasus ini, dirasakan oleh seluruh keluarga korban gangguan ginjal akut.
Baca Juga: Komnas HAM Panggil BPOM Terkait Kasus Gangguan Ginjal Akut pada Anak
Selain meminta tanggung jawab dari pemerintah, keluarga korban juga mendesak agar kejadian ini bisa ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB).
"Perjuangan mereka tanpa diperhatikan oleh pemerintah negara dalam hal ini, desakan untuk menjadikan ini KLB sebagai sistem yang meng-cover mereka tidak diperhatikan sama sekali," pungkas Awan.
Menanggapi aduan ini, Komisioner Bidang Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Putu Elvina, akan melakukan penyelidikan untuk menentukan kasus ini.
Lembaga-lembaga negara dinilai lalai dalam melindungi anak-anak yang merupakan kelompok rentan.
"Jadi di sini, Komnas HAM harus memastikan dan kita akan melakukan penyelidikan menentukan kasus ini seperti apa di paripurna nanti, sehingga ada pemanggilan-pemanggilan nanti harus menjadi jalan keluar untuk perbaikan sistem," jelas Elvina.
Ia melanjutkan, "Jadi kalau kita bicara tentang kasus ini, ini adalah kasus tentang bisnis dan HAM. Tidak hanya memerhatikan proses hukum terhadap perusahaan yang melanggar, tapi bagaimana kewajiban pemulihan."
Negara diharapkan dapat memberikan hal-hal yang memang sudah menjadi hak para korban. Serta diharapkan agar kejadian ini tidak terulang kembali ke depannya.
Terkait status KLB, Elvina mengatakan bahwa hal tersebut akan dibahas saat rapat paripurna.
"Rekomndasi kita pada saat paripurna, mintakan ke pemerintah untuk menetapkan sebagai KLB. Karena korbannya tidak hanya satu, tapi ratusan," pungkasnya.
Kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal ini, kasusnya telah ada sejak Januari 2022. Hanya saja, jumlahnya meningkat dan menjadi perhatian pada Agustus.
Data terakhir dari Kementerian Kesehatan, kasus gangguan ginjal akut ada sekitar 324 di 27 provinsi dengan 200 kematian. (*)
Source | : | liputan lapangan |
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar