GridHEALTH.id - Pernah dengar cerita ketika seorang pasien yang datang ke seorang dokter. Ia mengeluh, sering sakit kepala. Namun, setelah diperiksa, bahkan melewati berbagai pemeriksaan laboratorium, tidak ada satu pun penyakit yang melekat padanya.
Banyak dokter pun terheran-heran, sebab pelbagai pemeriksaan telah dilakukan dan tes tidak menemukan kelainan apa pun.
Penyakit pasien tersebut biasa disebut juga dengan worried well. Worried well atau di kalangan psikolog juga disebut somatisizer adalah masalah emosi.
Kecemasan berlebihan terhadap penyakit sehingga merasa tubuhnya selalu sakit juga disebut hipokondria.
Dalam versi teranyar kitab pegangan pakar psikologi—DSM-5—istilah hipokondria sebenarnya telah diubah menjadi dua diagnosis: somatic symptom disorder (SSD) dan illness anxiety disorder (IAD). Namun, istilah lama masih lebih sering digunakan.
Kecemasan berlebihan bisa dikatakan hipokondria bila berlangsung dalam jangka waktu lama. Jika kecemasan ini sampai mengganggu aktivitas sehari-hari, maka ia bisa digolongkan sebagai gangguan psikologis.
Baca Juga: Berantas Stunting: Ini 4 Dampak Stunting Bagi Tumbuh Kembang Anak
Orang yang mengidap hipokondria akan terus berpikir ada masalah dalam tubuhnya, sekalipun dokter mengatakan ia tidak mengidap penyakit-penyakit serius.
Penderitanya bukan harus disuntik atau dibedah, melainkan harus mendapatkan perawatan psikologis.
Baca Juga: BPOM Menarik Peredaran Lima Obat Darah Tinggi, Ini Dia Daftarnya
Rupanya, kasus somatisizer tidaklah langka. Menurut puluhan peneliti di AS selama 30 tahun ini, kasus ini diderita oleh dua pertiga pasien yang datang ke dokter. Hanya, tak seluruh dokter berhasil menyadarinya.
Sakit yang 'tidak sakit' telah diteliti banyak kalangan untuk diketahui penyebabnya. Seorang peneliti dari Harvard University, Caroline Hellman bersama rekannya meneliti 80 pasien yang dirawat di Harvard Community Health Plan (HCHP).
Penderita menunjukkan gejala-gejala penderitaan fisik, meski organ-organnya sehat.
Mereka antara lain menderita hipertensi, sesak napas, gangguan pecernaan, diare, sakit kepala, pusing, gangguan tidur, gangguan makan atau berat badan, gelisah, stres, dan tegang.
Para peneliti lantas membagi pasien-pasien tersebut dalam 3 kelompok. Satu kelompok mengikuti program ways to wellness yang dikembangkan oleh HCHP.
Baca Juga: Mengenal 8 Penyakit Langka, Ada yang Bisa Terdeteksi Sejak Bayi
Kelompok yang lain mengambil bagian dalam mind-body group program yang dikembangkan di Beth Israel Hospital di Boston.
Masing-masing kelompok tersebut melakukan pertemuan selama 6 minggu. Selama itu, pasien diajari cara membentuk sikap. Mereka juga dilatih untuk santai dan mawas diri.
Baca Juga: Studi: 50% Penderita Penyakit Langka di Indonesia adalah Anak-anak
Kelompok ketiga bertemu dua kali. Dalam pertemuan itu pasien diajarkan untuk menghubungkan stres dan sakit mereka serta diajari cara mengendalikan stres yang bisa dilakukan di rumah.
Begitu studi di atas selesai, semua pasien merasa lebih baik secara fisik maupun mental.
Mengapa bimbingan psikologis bisa mempengaruhi masalah fisik? Psikolog George Everly, Jr. mengatakan bahwa kita belum menyadari sepenuhnya hubungan antara pikiran dan jasmani.
Everly sendiri tengah melakukan studi di Harvard untuk mengetahui mengapa gangguan dan tingkah laku ada hubungannya dengan sejumlah penyakit.
Penyakit-penyakit (termasuk hipertensi, migren, radang dinding lambung, iritasi usus besar, kegelisahan, dan masalah penyesuaian diri) adalah penyakit yang muncul dari sistem limbis otak dan perlu dibantu dengan strategi penerangan.
Baca Juga: Lima Hal Yang Harus Diingat Sebelum Membeli Polis Asuransi Kesehatan
Berdasarkan hasil penelitian itu, kini di AS didirikan pelbagai tempat perawatan untuk penderita somatisizer.
Ada yang menyediakan terapi psikologis yang sifatnya tradisional, ada pula yang mengajarkan teknik-teknik mengurangi stres.
Baca Juga: Bahaya Kuku Panjang Bagi Kesehatan, Melukai Diri Hingga Rawan Infeksi
Program-program tambahan juga ada, seperti mendidik orang hidup teratur dan sehat untuk mengurangi risiko sakit jantung dan hipertensi, menghentikan merokok dan untuk mengatur stres. (*)
#berantasstunting
Source | : | intisari-online.com,Psychological Science |
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar