GridHEALTH.id - Belakangan ramai diperbincangkan kontroversi penggunaan vitamin D sebagai pencegahan untuk Covid-19.
Kontroversi ini bermula ketika munculnya pernyataan asupan vitamin D dosis tinggi dapat membantu mencegah diri dari Covid-19.
Pernyataan tersebut rupanya mengundang pro-kontra lebih jauh diantara ahli medis di tanah air.
Terbaru dari dokter ahli imunitas, Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI yang juga Konsultan Alergi & Imunologi Klinik, buka suara terkait klaim tersebut.
Melalui akun Instagram pribadinya @dokterimun.id (24/7/2021), ia mengunggah sebuah video berjudul "Manfaat dan Bahaya Vitamin D3 untuk Autoimun dan Alergi".
Dalam videonya, dr. Stevent mengungkapkan bahwa ada kesalahkaprahan mengenai penggunaan vitamin D dosis tinggi yang belakangan beredar di masyarakat.
Menurutnya penggunaan vitamin D dosis tinggi yang tidak sesuai justru dapat membuatnya menjadi racun hingga penyebab kematian.
Pria yang akrab disapa dokter imun itu menjelaskan bahwa dirinya tidak membantah khasiat vitamin D untuk kesehatan tubuh.
"Sebenarnya sudah banyak penelitian yang menunjukan bahwa kadar vitamin D normal dapat memberikan suport terhadap sistem imun kita," ujarnya.
Lantas, apa yang akan terjadi pada saat seseorang mendapatkan vitamin D dosis tinggi yang berlebihan?
Baca Juga: Tips Berjemur dari Kemenkes Agar Optimal Mendapat Vitamin D
Menurut dr. Stevent, vitamin D dosis tinggi yang berlebihan akan mengakibatkan terjadinya penekanan dari hormon paratiroid (PTH), yang mengatur konsentrasi kalsium serum melalui efeknya pada tulang, ginjal, dan usus..
"Hormon paratiroid yang tertekan pada saat kita diberikan vitamin D dengan dosis berlebihan, itu akan mengakibatkan berbagai penyakit tulang," kata dr. Stevent.
Menurutnya penelitian mengatakan pada saat kadar vitamin D tinggi dan menekan hormon paratiroid didalam tubuh maka akan mengakibatkan kalsium itu lari dalam tulang.
"Jadi seberapa banyaknya pun vitamin K yang kita berikan pada saat kadar vitamin D terlalu tinggi didalam darah, ia akan menekan hormon paratiroid, dia akan mengakibatkan penyakit tulang seperti osteomalasia dan hal itu yang akan mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar kalsium dalam darah, yang menyebabkan klasifikasi dari pembuluh darah, penyakit kardiovaskular dan menyebabkan kematian," ungkap dr. Stevent.
Ia menjelaskan bahwa terapi vitamin D dosis tinggi sebenarnya tidak ditujukan kepada orang-orang tanpa gangguan sistem imun.
"Terapi vitamin D dosis tinggi yang ditetapkan saat ini adalah digunakan untuk pasien-pasien dengan gangguan kondisi imunitas dan alergi," jelasnya.
Salah satu ahli yang sering dikutip oleh para pendukung terapi vitamin D dosis tinggi adalah dari Cicero Coimbra.
Dia adalah seorang profesor neurologi dari Brasil yang menggunakan terapi vitamin D dosis tinggi untuk menterapi pasien-pasien autoimun, terutama multiple sclerosis, psoriasis dan vitiligo.
Meski memberikan manfaat untuk mengendalikan kondisi autoimunitas, Coimbra sangat menekankan, terhadap keseimbangn vitamin D dengan hormon paratiroid.
Sebab ketika hormon paratiroid tertekan oleh penggunaan vitamin D dosis tinggi dapat mengakibatkan terjadinya toksisitas atau kerusakan.
Lebih lanjut, dr. Stevent menjelaskan bahwa penggunaan vitamin D dosis tinggi statusnya bukan sebagai suplemen.
"Vitamin D dosis tinggi diatas 2.000 IU per hari stastusnya adalah sebagai terapi atau obat," katanya.
Sehingga penggunaan vitamin D dosis tinggi benar-benar memerlukan takaran atau kadar yang harus ditargetkan.
"Ini sekali lagi harus ada targetnya. Belakangan ini terjadi sebuah kesalahkaprahan dimana beberapa orang menyarankan untuk menggunakan terapi vitamin D dengan target di dalam darah mencapai 100-200 nanogram/ml, Padahal jangan-jangan itu sebenarnya satuannya nanomol/ml," ujar dr. Stevent.
"Sedangkan para ahli di dunia, baik itu Michael Holick maupun Asosiasi Endokri Internasional menyarankan kadar vitamin D yang aman adalah anatara 30-100 nanogram/ml," lanjutnya.
dr. Stevent mengatakan ketika kadar vitamin D ditubuh sudah diatas 100 nanogram/ml, maka berpotensi untuk menekan hormon paratiroid dan menyebabkan terjadinya toksisitas.
Ini menjadi lebih berbahaya, karena kebanyakan kasus toksisitas seperti gagal ginjal sering sekali jarang disadari penderitanya sampai kondisinya terlalu terlambat.
Sebagai dokter imun, dr. Stevent mengaku D juga menerapkan terapi vitamin dosis tinggi kepada dirinya sendiri sebagai penyintas maupun untuk para pasiennya.
"Tapi saya tidak pernah melebihi dari kadar 100 nanogram/ml. Jadi kita harus benar-benar target yang optimal, bukan target yang berlebihan, tapi juga bukan target yang berkekurangan. Biasa kita gunakan target 50-80 nanogram/ml," ujarnya
"Kenapa demikian? Ini adalah a safe range, kita harus punya buffer jangan samapi kita mengalami toksisitas, tapi juga jangan sampai kita kekurangan. Jadi buffer 50-80 nanogram/ml. Ini merupakan target di vitamin D25-OH yang bisa dipertanggungjawabkan," lanjut dr. Stevent.
Ia kemudian menyimpulkan bahwa vitamin D3 sebenarnya sudah banyak dibuktikan dalam penelitian bermanfaat untuk menurunkan kekambuhan dan membantu mengendalikan berbagai kondisi autoimun dan alergi.
Namun demikian, tidak digunakan dalam dosis yang tinggi, biasanya tidak lebih dari 10.000 IU per hari apalagi mencapai kadar toksik dalam darah yang di D25-OH lebih dari 100 nanogram/ml.
Target yang baik adalah 50-80 nanogram/ml atau 125-200 nanomol/ml (PERHATIKAN SATUAN).
Rutin cek kadar D25-OH sebelum dan setiap 1-3 bulan bila gunakan vitamin D3 dalam dosis tinggi atau terapi (2.000 - 10.000 IU per hari).
Bila memungkinkan penyesuaian terapi dengan kadar hormon paratiroid dan kalsium daram bisa menjadi bahan evaluasi dokter yang merawat.
Namun bagaimana dengan orang-orang yang tidak bermasalah autoimun menggunakan vitamin D dosis tinggi?
Baca Juga: Kekurangan Protein Selama Kehamilan Berisiko Timbulkan Masalah Ginjal Pada Anak Kelak, Studi
Untuk orang yang tidak dengan kondisi autoimun, dr. Stevant menilai manfaat dari sinar matahari bukan hanya untuk vitamin D saja.
Manfaat dari sinar matahari adalah untuk menjaga irama sirkadian kita.
"Jadi dibandingkan kita sibuk untuk mencari vitamin D dosis tinggi, keluarlah antara jam 7-9 pagi kena sinar matahari, sambil berolahraga," imbaunya.
Jadi akan lebih baik jika orang yang tidak bermasalah dengan kondisi autoimun untuk menghindari penggunaan vitamin D dosis tinggi.
"Sehingga dibandingkan dengan mendapatkan viamin D dosis tinggi, lebih baik bagaimana kita fokus untuk mendapatkan sinar matahari yang cukup, berolahraga dengan teratur, punya hati yang gembira dan tentunya kita akan menjadi lebih sehat," pungkasnya.(*)
Baca Juga: Waspada Keracunan Vitamin D Karena Suplemen Vitamin D Dosis Tinggi
#berantasstunting
#hadapicorona
#BijakGGL
Penulis | : | Anjar Saputra |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar